[1] Insiden

214 37 102
                                    

V-Mart merupakan salah satu toko kelontong di jalan Veteran, bertetangga dengan cafe milenial, sekaligus toko daging besar di seberang jalan. Tiada ciri istimewa dari toko yang menjajakan berbagai macam barang ini. Bahkan, dindingnya yang kusam dan rak-rak dagangan yang mulai tercemar karat seolah memasang tanda tutup bagi para pengunjung.

Beruntung, masih ada beberapa orang yang sudi bertamu ke sana karena memang barangnya dijual murah. Selain itu, toko ini juga menerima utang.

"Totalkan saja dulu. Bayarannya nanti menyusul, ya, Pak Idrus?" ujar seorang pria botak mesem-mesem.

"Iya." Suara renta menjawab permintaannya. Rupanya sang penjaga kasir adalah kakek bungkuk berusia lebih dari setengah abad. "Seratus dua puluh ribu." Jari keriputnya tersendat-sendat menekan tombol mesin, tak terkecuali mata kecilnya yang terpicing-picing menatap layar.

"Terima kasih, Pak." Si pria botak menyambar kantung belanjaannya, lalu hengkang dari toko.

"Sama-sama." Pak Idrus menyunggingkan senyum terhangatnya, kendati seratus dua puluh ribu itu masih berupa bon.

Pelanggan tadi adalah yang pertama datang selepas toko dibuka. Jam dinding di atas rak makanan ringan menunjukkan pukul tujuh pagi. Pak Idrus mengela napas, sedikit tersenyum lega. Sebentar lagi, pikirnya.

Tidak berselang lama, seorang pengendara sepeda berhenti di depan toko. Pak Idrus bergegas menjangkau tongkat kayu di tepian meja, lalu berjalan tertatih-tatih mendekati pintu masuk.

"Ardi," sapanya. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"

"Biasa saja," ujar si pengendara sepeda seraya melepaskan helm pengaman. "Hanya saja hari ini lebih cepat. Ya, kurasa ini rekor tercepatku mengantar koran-koran."

"Syukurlah," timpal Pak Idrus. "Kau pasti kelelahan mengayuh sepeda itu. Ayo masuk. Ada air dingin di kulkas."

"Baik, Kek." Sang cucu menarik resleting jaket hitamnya ke bawah, membiarkan kaos lengan panjangnya yang berwarna sama terlihat.

Ardi, sesering orang-orang menyapanya. Namun, sejujurnya pemuda delapan belas tahun itu lebih suka dipanggil Lazu. Lumrah saja, hanya ada dua kata yang bisa diambil dari nama lengkapnya; Lazuardi. Kendati, sebagian orang malas menyebut "Lazu" karena aneh didengar.

Meski berperawakan bangsai, Lazu diberkahi badan yang tinggi, sekitar 173 senti. Rambutnya hitam pekat—acak-acakan—sekening. Berpadu dengan hidung mancung, mata beriris gelapnya senantiasa lesu, seolah pesimis menjalani hari. Setahu Pak Idrus, pandangan mata cucunya berubah semenjak kehilangan kedua orangtuanya karena kasus pembunuhan.

 Setahu Pak Idrus, pandangan mata cucunya berubah semenjak kehilangan kedua orangtuanya karena kasus pembunuhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Ilustrasi Lazu)

"Kakek bisa pulang ke rumah. Sekarang giliranku menjaga toko," kata Lazu selepas menyeka keringat dari kulit kuning langsatnya.

"Baiklah. Lagi pula, pinggang kakek agak sakit."

"Perlu kuantar?" Lazu langsung melepas botol minum di meja. Wajahnya cemas.

BEAST: RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang