Angin berembus tenang, sedikit membelai rambut Lazu yang berdiri di tepian tebing. Matanya kosong, terpaku pada sosok sang kakek di seberang sana. Kendati sadar bahwa keluarga satu-satunya itu sudah tiada, Lazu tetap ingin menggapai tangannya. Sayang, tiba-tiba ngarai raksasa menganga, seolah enggan mempertemukan mereka.
"Kakek!" teriaknya, "KAKEK!" Ulangnya sekuat tenaga, berharap pria tua bertongkat itu sudi memalingkan wajah.
Air mata Lazu tiba-tiba mengalir dengan sendirinya. Bahkan, ia sampai kaget dan lekas-lekas mengelap pipinya yang kuyup. Anehnya, air mata itu seolah tak terbendung. Terus saja mengalir, jatuh ke tanah.
"Apa ini?!" gumam Lazu.
Sejurus pertanyaan barusan, pemuda itu seketika ditarik mundur. Sangat cepat, sampai-sampai apa yang tergambar di matanya cuma kelebatan samar. Sedetik kemudian, ia sampai di dalam ruang kelas.
Lazu sontak terhenyak. Pandangannya bersarang ke sana-kemari. Ia hapal betul dengan ruang kelas tersebut. Bangku dan mejanya yang lapuk, langit-langit yang berdebu, dinding yang kusam. Tak salah lagi, pikirnya. Di sanalah sekolahnya dulu.
Tawa sumbang tiba-tiba pecah, disusul gelak lain yang sama kerasnya.
"Jangan macam-macam, Anak yatim!"
"HAH!"
BRUK!
Lazu terjungkal dari tempat tidur, membentur lantai cukup keras. Pemuda itu meringis, lalu bangun pelan-pelan. Tanpa banyak bicara, ia segera membuka tirai jendela. Rupanya langit sudah cerah. Ia terlambat untuk lari keliling lapangan.
Namun, lain daripada itu, kepala Lazu lebih disibukkan perihal mimpinya barusan. Sebuah mimpi yang aneh, terlebih baginya. Bagaimana tidak? Ada banyak kenangan yang membaur menjadi satu, diintepretasikan ke dalam satu potongan bunga tidur yang janggal.
Enggan melamun berlama-lama, akhirnya Lazu sepakat menganggapnya sebagai pengingat masa lalu saja. Yang terpenting, ia harus berlatih lebih keras hari ini. Sebab, lawan tanding selanjutnya adalah Cosmo.
Ya, satu hari sudah berlalu semenjak insiden pertarungan Si pria brewok. Mulai saat itu, sikap dingin Cosmo agak berubah. Anak itu jadi lebih sering mengobrol dengan anggota Red Code yang lain, meski terkadang ia juga masih cuek dan berbuat seenaknya.
Di sisi lain, rusuk kiri Lazu patah akibat terjangan sang musuh tempo hari. Beruntung, Red Code memiliki Mei—penanggung rusa Kerinitia—yang mampu memulihkan cidera dalam waktu singkat. Hanya butuh lima belas menit untuk menyambungkan retakan parah pada rusuknya.
Sementara Samael, lelaki itu sempat mendapat omelan dari beberapa anggota Red Code karena dinilai berlebihan. Namun, ia cuma merespons dengan senyum tipis, seperti biasa.
Berdasarkan kejadian tersebut, Lazu dapat menyimpulkan dua hal penting. Pertama, Red Code dapat terus bertarung tanpa khawatir mengalami luka atau cidera parah karena ada Mei yang selalu siap menyembuhkan mereka. Kedua, Lazu sadar bahwa dirinya takkan berguna bila hanya mengandalkan kekuatan fisik seadanya. Ia cuma akan menjadi beban bagi Red Code.
Maka dari itu, sesuai arahan dari Samael, Lazu akan mulai latihan menggunakan kekuatan Nemean hari ini. Dan, kemarin Cosmo sepakat akan jadi lawan tandingnya.
Selepas membasuh muka, pemuda itu bergegas menuruni tangga. Ia ingin memanfaatkan sisa waktu paginya untuk berlari kecil keliling markas. Manakala singgah di ruang tengah, ternyata di sana Claire sudah menunggu. Gadis tersebut menenteng koper hitam.
"Lazu, selamat pagi," sapanya.
"S-selamat pagi," balas Lazu, agak canggung.
"Sedang sibuk, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAST: Revenge
FantasyUpdate satu chapter per minggu. Main Genre: Fantasy-Action. Sub-Genre: Supernatural, Gore, Slice of Life, Minor-Romance. Cover by Yogatrisna. BLURB: Lazu tidak lagi bisa hidup normal setelah seorang pria bernama Eien memasukkan monster ke dalam...