[7] Dendam

40 17 7
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam ketika Lazu sampai di rumah. Pemuda itu segera membenahi diri sebelum berangkat ke kompleks perumahan untuk mengantar koran. Masih terbesit di pikirannya mengenai kejadian tadi malam, di mana dirinya nyaris mati akibat terlalu percaya pada seekor monster.

"Monster itu," geram Lazu tatkala mengguyur badannya dengan air.

Entah mengapa, semenjak Lazu sadar di markas Red Code, suara Nemean tak terdengar lagi di kepalanya. Apakah beast itu malu karena besar mulut? Ataukah ia mati bersama tusukan pisau dari preman bertangan empat? Lazu tidak mau ambil pusing. Lagi pula, memang ini yang ia harapkan.

Selepas mengenakan pakaian, pemuda berponi sekening itu bergegas ke dapur untuk memasak sarapan. Menu kali ini adalah telur dadar dan sepiring nasi hangat, seperti hari-hari biasanya. Namun, telur dadar yang sederhana mampu disulap Lazu menjadi hidangan super lezat.

"Selamat pagi, Ardi," sapa sang kakek.

"Selamat pagi," sahut Lazu sembari merapikan meja makan.

"Aromanya sedap sekali," komentar Pak Idrus sesaat duduk di kursi.

"Silakan disantap," canda Lazu selepas menyajikan sepiring nasi dan telur dadar.

"Terima kasih," ujar Pak Idrus, lalu mencicipi masakan sang cucu. "Enak. Sangat enak. Sudah kakek bilang kalau kau mewarisi bakat memasak ayahmu, Ardi."

"Tidak juga, Kek." Lazu duduk di kursinya. "Aku hanya bisa memasak telur dadar, sedangkan Ayah dipercaya sebagai kepala koki di kapal pesiar. Itu sangat berbeda."

"Bagi kakek terdengar sama saja." Pak Idrus kembali menyuap makanan ke mulut. "Ardi, apakah kau masih ingat cita-citamu dulu?"

"Cita-cita?" Lazu mengernyit.

"Kau dulu sangat ingin masuk akademi memasak, 'kan? Kau bilang itu adalah cita-cita yang rela kau perjuangkan sampai titik darah penghabisan."

"Oh, yang itu." Lazu tersenyum pahit. "Aku sudah tidak berminat lagi, Kek. Lagi pula, masuk ke akademi memasak terlalu mustahil bagi tamatan SD sepertiku."

"Jangan bicara seperti itu. Kakek tahu betul kau anak yang pintar. Kau terlalu pintar, sampai-sampai banyak orang iri yang ingin mencelakakanmu." Pak Idrus berhenti menyuap makanan ke mulut. "Akan tetapi, tidak semua orang seperti itu. Pasti masih ada orang baik yang mau mendukungmu. Kita takkan tahu kalau tidak mencobanya. Benar, 'kan?"

"Sudahlah, Kek." Lazu beringsut dari kursi. "Aku sudah telanjur menikmati hidupku yang sekarang. Kejadian buruk di masa lalu, biar menjadi pelajaran untukku."

"Kau anak yang baik, Ardi." Pak Idrus menatap cucunya lekat-lekat. "Kakek yakin kisah hidupmu akan berakhir sama baiknya." Sorot mata pria renta itu pilu.

Sayangnya, hal tersebut takkan pernah terwujud. Setidaknya, begitulah stigma Lazu mengenai kondisinya yang sekarang. Meski masih menyimpan keinginan kuat untuk menjadi salah satu murid di akademi memasak, ia bersikeras mengubur mimpinya dalam-dalam. Cahaya harapan sudah padam, pikirnya.

Mau tidak mau, Lazu harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukan lagi seorang manusia. Seberapa kali pun ia menyangkal, seberapa sering pun ia mengumpat, seberapa keras pun ia menangis, tetap saja takkan mampu mengubah keadaan. Benang merah takdir telah membawa pemuda itu mengarungi kisah terburuk sepanjang hidupnya.

Kendati demikian, Lazu bersyukur masih memiliki Kakek yang perhatian dan teman setianya, Hans si kucing hitam. Bersama mereka, setidaknya ia dapat melupakan dukanya sejenak.

Usai sarapan, Lazu berpamitan dengan sang kakek, lalu bergegas pergi ke pemasok koran bersama sepedanya. Ia melintasi jalan kota yang masih minim kendaraan, sementara gugus burung gereja beterbangan di atas kepalanya, di bawah semburat fajar yang hampir sirna. Benar-benar pemandangan pagi yang indah.

BEAST: RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang