Hiruk-pikuk kota belum mekar sepenuhnya, sementara ia gigih mengayuh pedal sepeda, beralih dari rumah ke rumah. Mata Lazu mengintip lesu di balik bayang-bayang tudung jaketnya. Pagi buta begini, pemuda itu sudah terjun ke jalan bersama berjilid-jilid surat kabar di ransel.
Hari ini, kompleks yang ditanganinya cukup luas. Barangkali ia akan sampai di toko setengah jam lebih lambat daripada sebelumnya. Namun, semua itu tak masalah bagi Lazu. Pemuda introvert tersebut menikmati setiap detik waktunya ketika bekerja, ataupun menjaga toko. Tentu karena senyum sang kakek yang terus terbayang di benaknya tatkala menyaksikan mentari pagi.
GUK!
Lazu mendengus sesaat salak anjing menyapa telinganya. Untuk suatu alasan, ia tidak pernah betah berhadapan dengan binatang yang satu itu. Jika kucing termasuk hewan paling lucu di mata Lazu, maka anjing adalah versi kebalikannya. Pengalaman masa kecil menjadikannya pengidap cynophobia.
Beruntung, anjing jenis doberman itu sudah dikekang rantai. Akan tetapi, melihat mata rantai sekecil itu, hati Lazu jadi bergidik ngeri. Terlebih, ia musti mengantarkan koran si pemilik rumah secepatnya.
Jarak antara pagar depan dengan teras tidak terlalu jauh. Sayangnya, ada genangan besar di sana. Seandainya lemparan Lazu gagal, maka ia harus siap diomeli, atau justru dipecat. Tidak! Lazu bukan tipe orang yang senang mengambil risiko. Kalau sudah begini, lebih baik menjerit dikejar anjing daripada menjerit karena kehilangan pekerjaan.
Berbekal tarikan napas panjang, dibukanya pagar rumah tersebut. Keberadaan sang anjing merupakan alasan jelas mengapa pagarnya tidak dikunci. Kini, Lazu ada di antara taman kecil dan seekor anjing yang bising di sebelah kiri. Malas berlama-lama, tatapannya tegak ke depan, menatap beranda rumah sang pelanggan. Tidak akan lama, pikirnya.
Langkah pertama sukses diambil, bersambut dengan yang kedua. Meski tergopoh-gopoh, Lazu bersikeras maju ke depan. Salak anjing yang kian lantang memaksa matanya terpejam karena gentar. Peduli setan, umpat Lazu dalam hati. Ia lekas-lekas berjalan mendekati teras rumah.
GUK! GUK!
"HAH!" Nyaris saja kakinya lumpuh. Lazu mengira anjing itu lepas, tetapi ia cuma menggonggong tak jelas.
Tinggal lima langkah lagi, dan tugasnya selesai. Lazu segera menghampiri pelataran rumah, lalu menjangkau segulungan koran dari ranselnya. Tersenyum puas, tangannya menempatkan surat kabar tersebut dengan rapi di atas undakan.
"Syuku—EH!" Badan pemuda itu seketika membeku. Napasnya memburu seiring bunyi geraman dari belakang, sangat dekat.
Sedikit demi sedikit Lazu memalingkan kepala seraya berharap geraman tadi cuma suara perutnya yang lapar. Matanya setengah tertutup, dan sesaat ia menengok ke belakang, pekik ketakutan sontak berkumandang.
Benda yang mengikat leher sang anjing rupanya bukan rantai, melainkan kalung besi. Lazu yang ketakutan setengah mati jadi kelabakan. Saking paniknya, ia tak sengaja menginjak genangan air hingga celana jinsnya basah.
"Huaaa!" Lazu histeris tatkala memanjat pagar rumah. "Pergi sana! Hush!"
Secepat kilat, ia kembali menaiki sepeda, sebelum akhirnya hengkang dari sana. Sialnya, doberman hitam itu justru ikut-ikutan mengejar Lazu. Tiap kali gonggongannya pecah, Lazu juga ikut berteriak ketakutan.
"Tolong aku! Tolong aku!" Nyaris sedetik sekali butir keringat meluncur dari kulit sawo matangnya. Lazu tak tahu harus berbuat apa, sementara waktu mengantar korannya terus berkurang. "Oh, ayolah!" gerutunya.
GUK! GUK!
Lazu merasa kayuhan kakinya sudah mencapai batas maksimal. Alhasil, laju sepeda mulai melambat. Namun, entah bagaimana anjing itu sanggup mengimbanginya. Benar-benar gila, pikir Lazu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAST: Revenge
FantasyUpdate satu chapter per minggu. Main Genre: Fantasy-Action. Sub-Genre: Supernatural, Gore, Slice of Life, Minor-Romance. Cover by Yogatrisna. BLURB: Lazu tidak lagi bisa hidup normal setelah seorang pria bernama Eien memasukkan monster ke dalam...