Malam dimana Hyungseob merelakan seluruh jiwa raganya untuk Woojin, adalah satu dari sekian malam berharga yang mereka lalui berdua. Tepat setelah pelepasan keduanya, Woojin segera mengutarakan isi hati untuk mengajak Hyungseob menikah.
Mendengar ajakan sang kekasih, lelaki bertubuh mungil itu justru menangis tersedu. Meracau berulang kali tentang dosa dosa masa lalunya, tentang statusnya sebagai pecandu narkoba, tentang pengkhianatan yang ia lakukan bersama Guanlin, dan tentang betapa merepotkannya ia untuk Woojin, padahal mereka hanya dua orang asing sebelumnya.
Woojin tak apa. Ia baik baik saja dengan segala kekurangan Hyungseob. Rentetan kalimat setulus hati juga mengalun lembut dari bibirnya, mengalahkan racauan tak jelas milik si pecandu. Lelaki tan itu sudah menduga sebelumnya, hal ini tak akan berjalan mudah. Namun bagaimanapun juga dia sudah mengikat Hyungseob, tinggal berharap saja benihnya akan tumbuh dan menghasilkan seorang bayi.
...
Sesuai rencana, dua hari kemudian Woojin benar benar mengajak Hyungseob bertemu orang tuanya. Jinyoung berbaik hati meminjamkan mobil milik ayahnya pada sepasang kekasih yang hendak mencari restu orang tua tersebut. Ia sudah bersiap di balik kemudi, dan di sampingnya Jihun sedang duduk manis dengan sebungkus keripik kentang di tangan. Woojin dan Hyungseob ada menempati kursi belakang.
Bermacam pikiran mulai berkecamuk memenuhi relung Hyungseob. Bagaimana jika orang tua Woojin tidak memberi mereka restu?
Ia terus berpikir begitu sepanjang perjalanan, memasang ekspresi tegang sambil meremas cemas telapak tangan kekasihnya. Woojin tentu dapat merasakan keresahan Hyungseob, ia akan membalas remasan tangan Hyungseob dengan usapan lembut pada punggung tangan.
"Selamat pagi bibi" Jihun menyapa ceria begitu pintu rumah Woojin terbuka.
Seorang lelaki manis bermata belo muncul dari balik pintu, Hyungseob duga beliau pasti ibu Woojin, "Eh Jihun, Jinyoung, Woojin, kenapa tidak bilang kalau kalian akan berkunjung?"
Sedari tadi Hyungseob memang sengja bersembunyi dibalik punggung Woojin –juga dibalik tubuh Jihun dan Jinyoung-, karna merasa tidak percaya diri bertemu calon mertua.
"Siapa si manis ini?" tanya ibu Woojin, tangannya terjulur mengusap pipi putih Hyungseob saat mereka berempat berjalan masuk menuju ruang tamu.
"Na—namaku Ahn Hyungseob bi, salam kenal" ucap Hyungseob sopan.
Empat lelaki hampir seumuran itu mulai menjalankan rencana. Woojin dan Hyungseob duduk bersebelahan, Jihun mengambil tempat dekat dengan ibu Woojin, berjaga jaga jika sang ibu menolak permintaan anaknya atau kemungkinan terburuk malah melayangkan pukulan pada wajah tampannya. Jinyoung flexibel, ia bisa duduk dimana saja asal nanti ikut membantu menguatkan argumen.
Jantung Hyungseob berdetak makin tak karuan kala sosok seorang lelaki yang ia duga sebagai ayah Woojin muncul dari arah ruang tengah. Sebisa mungkin Hyungseob mencoba bertingkah senormal mungkin, tidak menunjukkan tanda tanda ketakutan atau cemas.
"Tidak biasanya kalian datang kemari tanpa Donghyun, kemana dia?" tanya ayah Woojin seraya menyulut sebatang rokok, "Dan dia teman baru kalian?" sambungnya, menunjuk Hyungseob menggunakan dagu.
"Iya paman" Hyungseb menyahut cepat, "Perkenalkan namaku Ahn Hyungseob—"
"Dia kekasihku" sayangnya Woojin memotong lebih cepat.
"Wah akhirnya putraku laku juga di pasaran" sambar sang ibu yang baru saja bergabung dengan membawa camilan dan minuman warna oranye yang sepertinya jus jeruk.
Sang ayah tergelak mendengar candaan istrinya. Memang benar sih, Woojin tidak pernah sekalipun membawa seseorang ke rumah dan mengenalkan sebagai kekasih di hadapan orang tuanya. Hyungseob adalah yang pertama, dan semoga menjadi yang terakhir juga.
Jihun sudah tergelak tak tau diri, merasa senang karna teman sejak sekolah menengahnya itu di bully oleh ibunya sendiri. Jinyoung tertawa sekenanya, dan Hyungseob tertawa kaku. Meskipun lucu, nyatanya debaran jantung tak kunjung kembali normal.
"Dimana kau tinggal nak?" ayah Woojin memulai sesi introgasi.
Dan sejak pertanyaan pertama saja sudah membuat empat lelaki muda disana kalang kabut memikirkan jawaban. Tidak mungkin bukan mereka menjawab jika Hyungseob selama ini tinggal satu atap bersama Woojin.
"Ah Hyungseob tinggal tidak jauh dari studio paman" sela Jihun, dan tiga lainnya hanya mengiyakan.
Sang ayah mengangguk paham, "Lalu apa pekerjaan orang tuamu?"
"Aku seorang yatim piatu paman" jawab Hyungseob tanpa berpikir.
Mata sang ibu berangsur iba, beliau menduga Hyungseob pasti melalui hari hari yang berat tanpa kehadiran orang tua di sisinya.
"Kalau begitu apa pekerjaanmu?" giliran sang ibu melontarkan pertanyaan.
Empat kepala kembali saling bertelepati, berpikir pekerjaan apa yang harus mereka katakan untuk mengelabui dua orang paruh baya ini.
"Ah, kak Hyungseob itu karyawan baru kami bi. Akhir akhir ini studio sangat ramai pelanggan, jadi ia membantu kami mengatur keuangan" sambar Jinyoung.
"Hyungseob juga pandai memasak lho bi. Bibi harus mencoba masakannya" timpal Jihun memprovokasi, sedangkan Hyungseob hanya bisa tertawa canggung, takut salah bicara kemudian menghancurkan skenario.
Suasana jadi hening beberapa saat setelah pertanyaan terakhir terucap. Enam manusia disana melakukan kegiatannya masing masing, seperti merokok, memakan kue, mencicipi minuman, dan sibuk mengumpulkan nyali.
"Ayah, ibu aku akan menikahi Hyungseob" suara Woojin memecah keheningan.
Sontak semua perhatian tertuju pada dia, kecuali Hyungseob yang malah menunduk seraya memainkan jari jarinya resah. Ayah dan ibu Woojin saling pandang, memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.
Sang ayah berdehem sebentar, "Ayah bukannya tidak setuju. Tapi ayah dan ibu belum mengenal betul bagaimana seluk beluk Hyungseob. Kami hanya tidak ingin salah memilih menantu" sang ibu mengangguk setelah ayah mengakhiri kalimat.
Kepala Hyungseob makin tertunduk dalam, ia putus asa duluan setelah mendengar jawaban ayah Woojin.
"Ayah dan ibu harus memberi restu pada kami! Aku tidak perlu tau bagaimana seluk beluk Hyungseob, aku tidak peduli bagaimana masa lalunya. Aku mencintai Hyungseob apa adanya, masa lalu hanyalah kenangan, semua orang berhak mendapat kesempatan kedua, dan masa depannya adalah hidup bahagia bersamaku"
Ibu menyela, "Tapi Woojin—"
"Aku sudah menidurinya bu! Jika Hyungseob hamil aku akan jadi ayah untuk anak kami" seakan kehilangan akal, Woojin mengeluarkan kartu AS yang harusnya ia simpan sebagai senjata terakhir melawan argumen kedua orangtuanya.
PLAK
Tangan sang ibu mendarat telak menampar pipi Woojin. Jihun dan Jinyoung masih belum kembali dari keterkejutannya.
Mereka baru mengetahui fakta tersebut, selama ini keduanya tidak bicara apapun mengenai Woojin yang telah meniduri Hyungseob. Astaga bahkan Jihun baru saja melalaikan tugas untuk menghalau ibu Woojin agar tidak menyerang anaknya. Ini semua salah Woojin sendiri.
"Park Woojin brengsek! Teganya kau meniduri lelaki sepolos Hyungseob! Dimana rasa kemanusiaanmu?" murka sang ibu, ekspresinya jelas jikalau beliau sedang naik pitam. Ia mengambil nafas sejenak sebelum berkata—
"Nikahi Hyungseob secepatnya! Ibu tidak mau tau!"
TBC
Vote sama comment yang banyak eapz yorobun~ soalnya dah mau tamat ehe
KAMU SEDANG MEMBACA
2850 | PRODUCE 101 S2 jinseob
Fanfiction[COMPLETED] tentang si seniman tato yang menemukan seorang pecandu narkoba dalam keadaan sakau tak jauh dari studionya.