Level 15

799 204 97
                                    

Hanya lima orang di dunia ini yang mengetahui digit angka sandi unit apartemen Woojin, pertama adalah ibunya, kedua kakaknya, ketiga Jihun, keempat Haknyeon, dan kelima sudah jelas Hyungseob. Woojin tidak tau ia perlu bersyukur atau tidak, meskipun orang itu bukan ibu atau kakaknya, tapi tetap saja ia memergoki Woojin dan Hyungseob dalam posisi tak sepantasnya begitu.

Seperti yang diharapkan dari pengkonsumsi heroin, Hyungseob jatuh tertidur di pelukan Woojin setelah meracau sebentar tentang paman badut. Lantas ia mengangkat hati hati raga lelap Hyungseob untuk berpindah di atas kasur.

Woojin menghela nafas panjang, lalu mengacak rambutnya sendiri frustasi, sebelum melangkah kembali menuju sofa, dimana tiga lelaki tampak sedang menunggu penjelasan dari si tuan rumah.

"Jadi, ada yang mau kau jelaskan Park Woojin?" Donghyun bertanya dengan nada tenang, sama sekali tak ada intimidasi disana, berbanding terbalik dengan Jihun yang sedang melipat kedua tangan di dada serta melempar tatapan sinis pada Woojin.

Jinyoung diam saja, ia menata soft drink, burger dan beberapa bungkus kentang di atas meja. Ia juga sudah waspada kalau kalau Jihun mengamuk dan berakhir dengan mencakar wajah tampan Woojin. Tenang saja, selama ada Jinyoung, Jihun bisa dikendalikan.

Woojin menunduk dalam, menumpukan siku di masing masing lututnya sendiri yang mengangkang tak begitu lebar, "Maaf"

"Aku tidak ingin mendengar kata maaf darimu Park Woojin!" sambar Jihun cepat, "Aku hanya ingin dengar tentang siapa makhluk kurang ajar yang seenaknya memanggilku paman badut pada pertemuan pertama! dia tidak pernah diajari sopan santun ya?" semprot Jihun.

Oke, sudah bisa dipastikan kalau Hyungseob akan mati ditangan Jihun cepat atau lambat. Dalam halusinasi Hyungseob tadi, Jihun memang terlihat seperti badut, didukung dengan tubuh agak berisi, pipi gemuk berwarna merah dan outfit warna cerah dari atas sampai bawah.

Tanpa ada niatan mengancingkan kembali kemejanya Woojin mulai menjelaskan, mengawali cerita dari pertemuan pertama keduanya di gang sempit sebelah studio, penjelasan mengenai Hyungseob yang ternyata seorang pecandu, dan dengan baik hatinya Woojin membawa dia ke tempat rehabilitasi, juga mendaftarkan ke kelas memasak, lalu sedikit cerita tentang Guanlin yang ingin merebut Hyungseob darinya.

"Aku mencintainya" ungkap Woojin lirih, ia menumpukan tengkuknya pada batas sofa dan menatap kosong langit langit, lupa bahwa hal tersebut justru memperlihatkan secara jelas bercak ruam merah hasil karya Hyungseob.

"Aku kira kau sudah tidak waras karna mencintai seorang pecandu" cibir Jihun sinis.

"Kau tidak seharusnya begitu sweety, Hyungseob setidaknya perlu seseorang yang tulus agar bisa menariknya dari dalam jurang" timpal Jinyoung, Jihun hanya mendengus, ia masih tidak terima disamakan dengan badut.

Donghyun menghela nafas, "Aku merasa dikelabui oleh teman sekaligus tunanganku sendiri" ungkapnya kecewa.

"Maaf, aku tidak bermaksud begitu kak. Aku yang meminta kak Youngmin merahasiakan keberadaan Hyungseob dari siapapun" jelas Woojin, "Tolong jangan benci kak Youngmin, ini bukan salahnya"

"Ya, aku tidak membenci kalian berdua maupun Hyungseob. Tapi untuk hal hal seperti ini, harusnya kau bisa membagi bersama kami agar tidak terjadi kesalah pahaman" ujar Donghyun bijak.

"Aku harap kalian memaafkanku, dan jangan pernah menyalahkan Hyungseob atas apa yang terjadi" Woojin memohon dari hati yang terdalam, menjatuhkan harga diri sejatuh jatuhnya di hadapan Jihun, Jinyoung dan Donghyun.

Setelah kepulangan tiga tamunya, Woojin langsung jatuh tertidur di sofa. Ia sudah lelah dengan kejutan menyakitkan dari Hyungseob.

...

Tiga jam berlalu. Woojin terbangun dan segera duduk termenung di sofa setelahnya, menatap kosong ke arah bungkus plastik berisi kristal berwarna coklat muda, jarum suntik, sebuah sendok dan pemantik. Woojin mendadak dikuasai oleh amarah, ia jadi penasaran seperti apa sosok Guanlin itu. Mengapa Hyungseob begitu memujanya, walaupun ia tau lelaki manis tersebut perlahan mulai mencintainya. Woojin pikir, Hyungseob sudah melupakan guanlin, dan ternyata dugaannya meleset jauh.

Secepat kilat Woojin bangkit dari duduk nyamannya, menggeledah postman bag hyungseob, menumpahkan semua isi dalam tas tanpa terkecuali. Ponsel, buku catatan, pulpen, dompet dan beberapa keping uang receh terjatuh.

Tanpa berpikir dua kali, Woojin menyambar ponsel Hyungseob. Selama ini ia tidak pernah sekalipun menyentuh ponsel Hyungseob, karna menurut Woojin ponsel adalah privasi. Tapi untuk kali ini, ia mengesampingkan apa itu yang namanya privasi. Hyungseob harus segera di investigasi. Aplikasi chatting menarik perhatian Woojin pertama kali, dan benar saja, nama Guanlin berada di urutan teratas setelah namanya.

Mati matian lelaki berkulit tan itu menahan emosi. Satu fakta lagi terungkap, dari dialog percakapan mereka di aplikasi chatting, Woojin dapat menarik kesimpulan bahwa Hyungseob dan Guanlin memang sering bertemu tanpa sepengetahuannya.

Muak membaca isi pesan dari Guanlin, ia beralih pada galeri di ponsel Hyungseob. Oh, Woojin jadi menyesal sekarang. Disana ia menemukan foto Hyungseob bersama seorang lelaki –yang Woojin akui- tampan, kuat dugaan dia adalah Guanlin. jempol Woojin menekan preview gambar, dan betapa terkejutnya dia setelah menyadari bahwa latar belakang foto tersebut adalah unit apartemennya sendiri.

Geraman marah meluncur dari bibir si seniman tato. Ia tidak pernah menyangka, Hyungseob akan melakukan penghianatan sebesar ini. Jadi selama ini Guanlin datang berkunjung kemari saat ia pergi bekerja?

Woojin sudah sepantasnya membenci Hyungseob, mengusirnya dari sini kalau perlu. Dan kenyataannya Woojin tetap tak bisa, benar ia kecewa, tapi untuk membenci Hyungseob? Woojin tidak punya pilihan untuk itu. Mungkin memberi Hyungseob sedikit pelajaran dengan cara meluapkan rasa kekecewaannya akan jadi opsi paling baik saat ini.

Segera saja Woojin menghapus nomor ponsel Guanlin, berserta foto foto lelaki brengsek itu di galeri ponsel Hyungseob. Setelah itu ia menonaktifkan daya ponsel, mencabut sim card dan mematahkannya jadi dua bagian. Mengumpulkan segenap amarah, Woojin berteriak kencang seraya melempar ponsel Hyungseob membentur tembok.

Woojin menatap bengis wajah damai Hyungseob sekilas, sebelum berlalu menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi.

Siraman air dingin, agaknya membuat suasana hati Woojin membaik. Lelaki tan itu keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk menutupi pinggang, berjalan santai menuju lemari, lantas menyambar celana jeans dan kaus warna hitam.

"Woojin kau sudah pulang?" suara serak dari belakang punggung Woojin menyapa. Lelaki itu baru saja mengaitkan kancing celana jeans yang ia kenakan, "Jam berapa sekarang?" lanjut si pemilik suara lagi.

Mata bening Hyungseob mengerjap perlahan, ia bisa melihat punggung telanjang Woojin, dimana tersemat tato berbentuk rasi bintang pada bahu sebelah kirinya. Sedetik kemudian, ia merasa aneh karna Woojin hanya diam saja. Beberapa detik berlalu Woojin baru berbalik, disertai tatapan tajam melayang untuk Hyungseob.

"Ke—kenapa menatapku seperti itu?"

TBC

monmaap netijen saya mau pamit lagi kalo level depan ratingnya naik ehe.

vote sama comment yang banyak eapz kalo pengen woojin berantem sama guanlin huahahaha

2850 | PRODUCE 101 S2 jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang