4

123 15 5
                                    

Alyssa tengah duduk di sebuah kursi santai di samping rumah utama dekat dengan sebuah kolam teratai merah yang baru saja mekar sambil mendengarkan pengasuhnya menjelaskan tentang klien yang meminta jasanya, wajah serius yang ditampilkan begitu memikat siapa saja yang melihatnya. Walaupun menampakkan ekspresi seperti itu pengasuh Alyssa sangat mengetahui kalau nona mudanya itu sama sekali tak bersungguh-sungguh mendengarkan apa yang tengah dirinya katakan saat ini.

Sedangkan Alyssa sendiri memang benar tak mendengarkan perkataan laki-laki paruh baya di depannya yang setiap perkataannya yang keluar hampir menyamai dongeng untuk anak-anak, namun tentu saja ada beberapa kalimat yang ia anggap penting dirinya tangkap dan sisanya ia gunakan untuk mendengarkan suara desingan angin yang berhembus di sekitarnya.

Bagi Alyssa di dunia ini baginya selain suara alam yang bernyanyi dirinya menyukai kesepian dirinya yang dimana bagi orang normal kesepian dapat dianggap sebagai suatu yang bisa membuat orang dipaksa untuk mati, namun itulah yang membuat Alyssa menyukai kesepian karena dirinya saat ini sangat menginginkan kematian.

"Nona, apakah anda mendengarkan saya?" tanya pengasuhnya.

"Hmm." dehemnya dengan suara malas membuat sudut mulut laki-laki paruh baya itu sedikit tertarik karena tingkah nona mudanya.

"Jadi kapan nona muda akan mulai?" tanyanya lagi.

"Besok, lebih cepat lebih baik. Lagi pula aku ingin secepatnya bermain dengan mereka." balas Alyssa dengan senyum kecil.

"Nona muda terlihat bersemangat." komentar laki-laki paruh baya itu.

"Tentu saja, karena aku ingin tau permainan jenis apa yang akan dimainkan oleh orang-orang tua di keluarga ini untuk melawan gadis muda seperti ku."

Sejenak keadaan di sekitar keduanya tersisa hanya suara dedaunan tertiup oleh angin serta suara gesekan bambu dengan bambu lainnya menghasilkan melodi yang menenangkan dan seakan meminta seseorang yang mendengarkannya merasa mengantuk.

"Malam ini aku akan menghadiri perkumpulan, jaga kamar ini agar siapa saja tak dapat masuk. Kalau ada yang memaksa bunuh dan lemparkan tubuhnya untuk dimakan ular kesayangan ku!" perintah Alyssa lalu mulai berdiri membuat gaun merah selutut tanpa lengan itu terjatuh dengan indahnya terlebih dengan warna gaun dan kulit seputih susunya begitu serasi.

"Kakak pelempuan!"

Ketika baru sampai kebun pohon apel hijau yang sebagian siap untuk dipetik sebuah pekikan suara yang terdengar agak melengking khas anak-anak menyapa pendengaran Alyssa yang tajam, dengan postur anggun dan tenang ia berbalik dan melihat seorang anak kecil laki-laki yang dapat dirinya perkirakan berusia sekitar 5 sampai 6 tahun yang tak lain adalah adik laki-laki kandungnya.

Dengan wajah yang begitu menggemaskan, pipi layaknya tumpukan roti dan mata hitam besar yang bersinar murni seolah belum ternodai kotoran kehidupan, walaupun Alyssa begitu membenci semua anggota keluarga ini tak sedikit pun hatinya yang hitam merasakan kebencian terhadap anak yang kini dengan senyum menyilaukan di depannya.

"Kakak pelempuan kapan kau pulang, mengapa Andlion tidak tau?" tanya anak kecil itu dengan logat cadel dan pipi digembungkan kesal membuat bibir Alyssa tanpa sadar tertarik sedikit menampakkan senyum lembut.

"Bagaimana kau tau kalau kau sendiri tak ada di rumah saat aku pulang." balas Alyssa dengan datar.

"Tentu saja itu kalena Papa dan Ibu meminta aku untuk pelgi belajal setiap hali  membuatku tidak mengetahui kalau kakak pulang." balasnya masih dengan pipi menggembung dan bibir mungil mengerucut.

"Itu bagus, tandanya Papa dan Nyonya pertama perduli denganmu, bukankah kau ingin cepat besar dan menikah denganku." kata Alyssa sambil menyembunyikan kilatan dingin di matanya ketika menyebut dua nama paling ia benci.

DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang