Satu

837 49 21
                                    

Udara siang terasa sangat panas. Terlebih banyaknya udara kelabu yang menyelubungi jalanan besar berisi benda-benda berbentuk persegi panjang. Jangan lupa pengendara motor profesional; sangat pandai melakukan atraksi tikung-menikung di area padat lalu-lintas. Mereka tampak terburu-buru, entah tugas apa yang membuat mereka tidak bisa bersabar.

Punggung tangannya mengusap peluh yang turun kesekian kalinya. Menetes dari pelipis hingga berakhir jatuh ke tanah, dan beberapa diantaranya tersangkut pada kerah baju. Meresap hingga mengering. Menjadi penyebab utama munculnya aroma-aroma memabukkan, tentu jika tercium pada durasi yang lama.

Sudah sejam semenjak ia turun dari angkot yang membawanya mengelilingi kota luas ini. Mencari-cari tempat tinggal. Namun tak kunjung dapat. Tidak bisa diteruskan. Selembaran kertas bernilai ekonomis itu akan habis jika ia terus-menerus memakainya berkeliling. Berakhir dengan diturunkannya ia pada supir angkot yang tampak setengah kesal. Mungkin ikutan lelah berkeliling dengan hanya dirinya sebagai penumpang.

Hei, itu bukan salahnya. Sebab itu memang resiko seseorang yang mencari rezeki. Mana ia tahu kalau tidak ada penumpang lainnya yang akan naik. Toh untung atau rugi, yang penting ia sudah membayar. Tidak kabur atau menipu.

Haduh. Kota metropolitan memang mengerikan. Di sini banyak asap kendaraan, polusi suara akibat kemacetan, bahkan masalah terberat yang saat ini ia hadapi. Seluruh kos-kosan yang sudah jauh-jauh hari ia buru ternyata penuh tak tersisa.

Kalau begini caranya, mau tidur dimana ia malam nanti?

Kolong jembatan?

Bahkan tempat itu sudah dipenuhi oleh orang-orang tunawisma. Ia tahu karena baru saja ia lewat memastikan. Mereka membangun rumah sendiri di sana, kebanyakan dari kardus sebagai atap dan koran sebagai alasnya. Entah seberapa kokoh istana kecil itu saat terguyur hujan atau diterpa angin kencang.

Ia menjinjing koper berwarna hijau lumut dengan langkah terseret. Saat ini ia berada di area yang terdapat banyak gang kecil. Ia menghela nafas, kakinya berjalan tanpa tujuan. Ia asal saja memasuki salah satu gang. Jika di telisik, mungkin gang ini hanya bisa di lewati dua orang yang berjalan berlawanan arah. Mobil sangat mustahil bisa masuk. Okay, batinnya mulai mengutarakan hal yang tidak jelas.

kruyuk

Langkahnya terhenti. Dengan keheranan, ia menundukkan kepala sejenak.

"Banter banget sih bunyinya? Kerjasama kek perut," ia menggerutu, menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang ikutan mendengar suara barusan. Tangannya mengusap perut yang baru saja mengeluarkan bunyi nyaring. Lambungnya terasa diremas-remas. Ia lupa belum makan sejak kemarin malam.

Kemarin malam dirinya memang tidak sempat makan. Bermula dari permasalahan ia yang berangkat mepet dari jadwal pemberangkatan kereta. Saat itu, hampir saja ia terjepit di antara pintu kereta karena memaksa masuk pada saat penutupan gerbang. Membuatnya menghirup nafas dalam-dalam saat telah duduk di kursi kereta, dengan muka yang pucat pasi.

Ia bahkan belum minum sama sekali. Makan pun ia hanya mengunyah permen susu yang tidak sengaja ditemukan pada ujung terdalam kantung jaket. Sesuatu yang sangat tidak cukup untuk mengganjal perut.

Namun belum juga masalah pertama selesai, muncul sebuah masalah baru. Ia tersungkur cukup keras akibat saat berjalan kakinya terbelit satu sama lain. Ia kehilangan keseimbangan, terlebih karena kesalahan yang dirinya perbuat sendiri.

"Aduh!" rongga dadanya terasa panas, ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Berakhir dengan suara bedentum akibat tangannya yang membanting benda persegi panjang berisi pakaian dan minoritas alat-alat pokok. "Masalah satu belum kelar, ada lagi masalah kedua. Kenapa sial banget sih!?"

MathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang