Alarm adalah hal yang pertama kali terdengar. Jam telah menunjukkan pukul empat pagi, matahari masih belum tampak ronanya. Memang terlalu pagi untuk beberapa orang. Namun keseharian Etia jika harus beraktivitas ya seperti ini. Kecuali untuk sabtu atau minggu. Setidaknya sekali dalam seminggu ia bisa molor.
Apalagi mengingat kejadian kemarin, membuat Etia bisa terlelap lebih cepat.
Aktivitas kecil dipagi hari setidaknya sudah beres setengah jam kemudian. Dan lima belas menit habis untuk mandi dan berganti pakaian. Etia berdiri di depan kaca yang bahkah lebih tinggi darinya. Ia menyisir rambut basahnya yang sudah sepinggang, lalu keluar dari kamar setelah memastikan tidak ada yang terlupakan. Ya, Etia tidak akan lupa lagi untuk membawa tasnya. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan wakil OSIS, Etia sudah kapok.
Saat Etia keluar dari kamar, samar-samar ia mencium bau harum dari dapur. Etia lantas berjalan menuju bebauan lezat tersebut. Dan saat kepalanya menyembul dari balik tembok, ia melihat Hantar dengan celemek yang menggantung di depan dada hingga lutut tampak sedang fokus dengan panci penggorengan yang Etia tebak adalah makanan dengan aroma lezat.
Ia mengernyitkan alis, tumben Hantar tidak memakai wig pendeknya. Ia malah bergaya kasual dengan kemeja yang lengannya dilipat, dan celana berwarna hitam pekat yang disabuk.
"Kamu mau nyicipin masakannya?"
Etia terjengkang kaget. Hantar saat ini telah menoleh kearahnya dengan sudip yang terisi sedikit daging dengan lumuran bumbu berwarna coklat.
Etia mengangguk kikuk, ia berjalan ke arah Hantar. Memangnya ia mau beralasan apa biar tidak ketahuan kalau sedang mengintip?
Namun perasaan canggung hilang saat ia mencicipi rasa rendang yang Hantar buat. Etia tanpa sadar mengeluarkan ekspresi menggelikan karena masakan Hantar terlalu enak.
Etia tahu sih, setiap hari tugas bagian memasak makanan untuk sarapan adalah Hantar, dan setiap hari pula ia bisa merasakan masakan rumah yang enak dan sehat. Namun ternyata memakan langsung dari wajan itu punya sensasi tersendiri. Bisa dibilang, lebih lezat.
"Kalau aja Bang Hantar pakai rambut palsu sambil bikin ini, Abang udah jadi seratus persen istri idaman," Etia tidak sadar kalau dirinya keceplosan. Sampai kunyahan dalam mulutnya terhenti menyadari Hantar menaikkan sebelah alis, menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Etia membekap mulutnya dengan kedua tangan.
Ekspresi Hantar terganti dengan senyuman tipis melihat gelagat Etia yang lagi-lagi awkward, Hantar seolah mengabaikan ucapan Etia barusan dan kembali bertanya, "Mau bantu nyiapin piring?"
Untuk kedua kalinya Etia hanya mengangguk kikuk. Ia menepuk jidatnya saat sudah sedikit jauh dari Hantar. Kenapa dari tadi ia bikin malu, sih? Semoga saja Hantar tidak tersinggung atas ucapan Etia barusan. Gila saja, bisa-bisanya mulut Etia selalu mengucapkan hal-hal yang sensitif.
Semuanya sudah beres, dan satu persatu penghuni villa Matha mulai keluar dan mengisi kursi di meja makan. Namun saat menunggu, Etia tidak melihat kehadiran Ayena, ibu pemilik kosan ini. Biasanya, Ayena selalu terlihat diwaktu-waktu saat mereka makan bersama, entah itu makan pagi, sore, ataupun malam. Dan setelahnya Etia tidak pernah melihat Ayena lagi, entah wanita setengah baya itu selalu menetap di kamar, atau sedang keluar rumah.
Wanita paruh baya itu selalu datang dan pergi tanpa suara.
Sadar jika yang lainnya juga menunggu kehadiran Ayena, akhirnya Hantar buka suara.
"Mommy lagi keluar negeri, beliau ada pekerjaan yang harus diselesaikan selama beberapa bulan ke depan. Beliau juga berpesan untuk pembayaran kosan ini langsung saja transfer ke rekening beliau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Matha
Teen FictionMasalah selalu mencariku, mengerumuniku, lalu mendesakku hingga sudut terpojok, lubang tergelap, jurang tercuram. Tidak serentak, namun bertahap. Jika seperti itu terus, kapan habisnya? Kapan ada titik terang menemui ending? ⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️...