Suara tegukan ludah terdengar samar. Dua belah bibir dengan warna peach itu terlipat ke dalam.
Entah kenapa sebelah pelipis Etia mengeluarkan keringat dingin. Mungkin merasa terintimidasi saat sepasang mata menatap tajam ke arahnya. Tatapan yang jika mungkin bisa berubah menjadi senjata berlaser.
Etia kembali meneguk ludah untuk kedua kali. Ia gugup akibat pelototan seorang wanita paruh baya di depan, wanita yang tidak lain adalah pemilik kosan Matha.
Wanita itu tampak rapi dengan daster putih polos, serta rambut yang digelung ke atas, tubuhnya sedikit bongsor, auranya pun elegan, namun tidak dengan pandangan Etia. Wanita itu lebih condong menyeramkan.
"Err... kenapa ibu kosnya mendelik ke aku?" ia mendekatkan wajahnya ke Ikhsan, berbisik pelan.
"Ya soalnya." Ikhsan menggaruk-garuk kepalanya, "Gimana ya, aku nggak pinter ngejelasin. Jadi itu sebenernya... —ah mbak Vi!" ucapan Ikhsan terpotong saat matanya menangkap sesosok cewek dengan handuk yang terselampir di leher. Cewek itu tengah berjalan melewati mereka.
Ikhsan lantas meninggalkannya dan berlari kecil menyusul, dia tampak memegang pundak cewek tersebut. "Mbak Vi, tunggu bentar! Aku mau minta tolong, ada yang mau nge-kos."
Cewek itu menoleh, dengan sebelah alis yang tertarik ke atas. "Nggak."
"Mbak Vi, please!"
"Apaan sih, jadwal piket jaga kos-kosan bukan waktunya aku ya! Dan jangan, panggil, aku, em-bak!"
"Bang—eh salah, mbak Rasya terus mana?"
Cewek itu menaikkan bahu, tidak peduli. "MGT."
Ikhsan meringis mendengar kosakata kuno yang di keluarkan cewek di depannya. Namun ia tidak marah, dirinya memang sudah terbiasa dengan sifat setiap penghuni kosan di sini. Tidak terkecuali dengan sifat cewek berusia dua puluh tiga tahun yang kerjaanya suka ngatur dan marah-marah.
Kepala Ikhsan tertoleh, menemukan Etia dan pemilik kos masih menunggunya. Kepala Etia tampak terus-menerus tertunduk, dengan ibu kosnya yang juga terus-menerus mengeluarkan deathglare.
"Udah deh, Mbak kan juga salah satu pengurus kos. Titip Etia, aku mau lanjut keluar. Kerkel. Important! Bye Mbak," putus Ikhsan secara sepihak, lantas melengos pergi begitu saja. Membuat pelototan tajam terarah pada punggungnya.
"Heh, semua penghuni kos itu pengurus!!" omel Vierra pada Ikhsan, namun tidak digubris, "Can balik—Ican!!!" ia meneriaki Ikhsan sekuat tenaga, namun cowok itu tidak membalikkan badan sama sekali. "Ett, bocah sekarang emang nggak ada sopan-sopannya, ya!"
Ujung-ujungnya Vierra menghela nafas. Merasa sia-sia jika ia tetap mengejar Ikhsan, pun jika ia mengeluarkan seribu satu omelan. Cowok nyeleneh itu akan tetap berkepala batu.
Dan sekarang berakhirlah Etia di sini. Sedang menggigit pipi bagian dalamnya keras-keras karena jumlah pelototan yang terarah padanya bertambah.
Etia tanpa sadar menahan nafas saat Vierra maju mendekat. Lantas memandang Etia seolah ingin melampiaskan kemarahan yang padahal bukan Etia pelaku pembuat Vierra kesal.
Cewek itu lalu mengalihkan muka, menatap ke arah pemilik kos yang sedang bersidekap. Vierra terlihat menghirup nafas dalam-dalam sebelum berkata. Mungkin terpaksa mengalah dan berakhir menjadi pengganti Ikhsan dalam menjelaskan situasi.
Vierra berdeham sebelum berbicara, "Mom... ada, yang, mau, nge, kos, di, sini."
Kerutan di dahi Etia tercetak samar saat melihat gaya bicara Vierra tampak lambat dan terpotong-potong, terlebih dengan tangan cewek itu yang ikutan bergerak membentuk pola rumit, sama sekali tidak Etia tahu maksudnya. Namun beberapa puluh detik cukup untuk membuat otaknya bergerak cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matha
Teen FictionMasalah selalu mencariku, mengerumuniku, lalu mendesakku hingga sudut terpojok, lubang tergelap, jurang tercuram. Tidak serentak, namun bertahap. Jika seperti itu terus, kapan habisnya? Kapan ada titik terang menemui ending? ⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️...