Etia membuka pelan pintu villa Matha, dan langsung disambut dengan ruangan luas penuh perabotan modern. Awal mula tinggal disini ia selalu kagum, namun karena saat ini perasaan sedang buruk, semua hal indah terasa sama saja seperti gambar monokrom.
Setelah mengucap salam. Etia mencopot sepatunya ogah-ogahan dan berjalan ke kamarnya dengan langkah lambat. Tampaknya kosan sedang sepi, dan itu termasuk keberuntungan bagi Etia. Ruang tengah tampak kosong yang biasanya selalu dihuni Vierra untuk melihat berita di tv. Ruang tamu yang dihuni Ikhsan untuk bersantai. Dan dapur untuk bahan eksperimen Geya(?)
Etia menepuk jidat, ia kan tidak boleh membatin seseorang jika tidak mau orang itu muncul. Hanya mitos, sih.
Dan benar saja. Entah itu kebetulan atau apa, belum juga setengah perjalanan Etia bisa masuk ke kamarnya, muncul suara langkah kaki yang sepertinya sedang berlari dari lantai atas, lalu dilanjut dengan muncul tubuh di balik pagar pembatas lantai dua.
"ECIAAAA, CIE UDAH PULANG!! SINI MAIN YUK KE KAMAR, MBA-eh kok lesu gitu mukanya?" Geya, tampak heran dengan ekspresi wajah Etia. Yah walaupun setiap hari wajah Etia itu selalu datar, namun kali ini beda, terlihat-Err... suram.
Geya menuruni anak tangga dengan langkah cepat untuk menghampiri Etia yang sepertinya tidak mendengar panggilannya. Etia terus berjalan dengan langkah terseok-seok, mungkin bekas keseleo di kakinya masih sedikit terasa.
"Ecia?" Geya bahkan menyentuh pundak Etia sangat pelan, namun Etia mengeluarkan reaksi yang berlebihan. Geya jadi ikut-ikutan loncat karena kaget, terlebih saat melihat rona pekat perwana ungu di dahi Etia. "ASTAGA, MUKA KAMU KENAPA LEBAM BEGITU!?"
Geya memegangi lebam di mukanya dengan muka panik, dan lebih panik lagi setelah melihat tas Etia tampak habis dicoret-coret dengan spidol hitam serta seragam yang terlihat sangat kotor berada di genggaman Etia.
"KAMU KENAPA BISA KAYAK GINI, CI?? ECIA HABIS DIBULLY?? IYA!? BILANG SAMA MBAK SIAPA ORANGNYA, BIAR MBAK LABRAK ITU JELMAAN MONYET. BERANI-BERANINYA MAIN KASAR SAMA CIA!!?" Geya sudah menarik kaos lengan saja seolah siap lahir batin untuk bertempur. Etia yang mendengar teriakan lantang tersebut sampai melongo. Antara gelisah bercampur deg-degan.
Dan benar dugaannya, seluruh penghuni kos-kosan mulai bermunculan satu-persatu-kecuali ibu kos, ya tentu saja. Mungkin mereka mendengar dengan jelas apa yang baru saja Geya ucapkan. Etia yang berada tepat di depan Geya saja serasa berdenging mendengar Geya berteriak.
"Dibully ya? Pantes sih, kau kan songong."
Etia menahan nafas mendengar penuturan Vierra yang sangat-sangat menyebalkan. Rasanya sepasang sepatu yang saat ini ia genggam dengan erat ingin langsung Etia benamkan pada mulut cewek itu. Namun urung saat Vierra langsung lari meninggalkan perkumpulan seluruh anggota kosan dengan tiba-tiba, yang entah Etia salah lihat atau apa, Vierra tampak terburu-buru.
"Kamu dibully? Sama siapa? Kamu udah lapor bimbingan konseling?" kini Ikhsan yang berjalan mendekatinya, mungkin dia sadar ada yang tidak beres dengan kaki Etia, lantas memapahnya menuju ruang tengah. Diikuti dengan yang lain.
"Aku ambil P3K dulu buat kamu, tunggu bentar," ucap Hantar.
Geya dan Rasit juga pergi untuk membuatkannya minum, dan makanan(?) untuknya. ia pun bingung, apa tujuannya membuat makan disaat-saat seperti ini? Namun ia membiarkannya. Etia capek kalau harus berbicara lagi. Tenaganya terkuras setelah berbicara dan menenangkan tangis Tiana tadi.
Tubuhnya pun lelah. Etia kira ia bisa masuk ke dalam kamar dan langsung ambruk. Namun keinginan untuk istirahat masih tertunda dengan perilaku seluruh penghuni kosan yang mendadak perhatian dengannya. Kecuali Vierra. Yeah. Ia juga tidak berharap apa-apa, kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matha
Teen FictionMasalah selalu mencariku, mengerumuniku, lalu mendesakku hingga sudut terpojok, lubang tergelap, jurang tercuram. Tidak serentak, namun bertahap. Jika seperti itu terus, kapan habisnya? Kapan ada titik terang menemui ending? ⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️...