Di awal lebih banyak narasi:D kalau ada kalimat nggak nyambung, typo, atau S-P-O ancur minta tolong diingetin ya O_O
Met mbaca!*
¬¬¬¬¬¬¬¬
Etia berjalan dengan gontai saat menyusuri jalanan. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah lebih dari dua jam berjalan tanpa arah. Etia menggeleng-geleng lemah. Ia tidak boleh putus asa. Ia tidak boleh menyesal telah meninggalkan rumah demi bersekolah di sini. Sekolah saja belum dimulai, ia malah sudah menyesal.
Ibarat mati sebelum berpetualang, dong.
Ini adalah keputusan Etia, tanpa campur tangan manusia dalam menentukan tujuan hidupnya. Jika begini saja Etia sudah terjerembab gagal, bagaimana ia bisa berhasil menghadapi lebih banyak rintangan selanjutnya?
Etia menghirup nafas dalam-dalam. Yang saat ini ia butuhkan adalah sugesti positif. Baiklah! Kedua tangannya terkepal erat, kepalanya mengangguk sebagai gambaran semangat. Ia akan merangkai tujuan kembali.
Tangannya mulai merogoh ke dalam tas pinggang berwarna kelabu, ia mengambil dompetnya. Tersisa tiga ratus dua puluh ribu. Etia sebenarnya bisa saja mencairkan uang ke ATM. Tetapi sayangnya Etia tidak tahu dimana letak ATM berada.
Semoga sisa uang ini cukup untuk membeli pakaian bersih dan makanan, untung-untungan bisa pula mendapatkan selimut. Semangat Etia mulai membaca kembali. Sekarang ia berjalan menyusuri jalan dengan tujuan yang jelas.
Etia ingin mencari keramaian.
Mungkin keramaian bisa membawanya kepada depot-depot makanan, atau pun toko baju di pinggiran jalan.
Dan benar saja, terlintas saat beberapa orang tidak sengaja berjalan melewatinya, membuat Etia memiliki ide untuk mengikuti mereka sambil menjaga jarak. Etia tidak akan membiarkan mereka merasakan bahwa dirinya sedang mengikuti mereka. Bisa-bisa Etia dikira stalker, atau yang lebih parahnya lagi psikopat.
Sampai akhirnya Etia bisa melihat lampu terang yang berasal dari toko pakaian. Membuat ia menjerit senang dalam hati. Ia lantas masuk ke dalam toko tersebut. Etia membeli satu set baju serta selimut, walaupun tidak seberapa tebal, namun cukup untuk melindungi tubuh dari hawa dingin.
Waktu tetap berjalan, kini uangnya tersisa lima puluh ribu, dan keberuntungan akhirnya berpihak pada Etia. Ia menemukan depot makan dengan sajian menu yang pas untuk kantongnya saat ini. Etia lantas memesan satu porsi makanan dan segelas minuman hangat, ia memutuskan makan di depot tersebut. Meskipun masih saja ada beberapa mata yang tidak lepas memandangnya, Etia membalasnya dengan sikap acuh tak acuh. Yang menjadi fokusnya saat ini adalah makanan berkepul yang terlihat lezat.
Sepertinya ia sudah salah sangka. Karena sekalipun bau badan tidak sedap, ataupun makanan yang tersaji berbeda jauh dengan ekspetasi, semua terasa lezat begitu saja saat ia benar-benar merasa kelaparan.
Ia keluar dari depot pukul delapan malam. Tujuan selanjutnya adalah mencari tempat singgah sementara. Ups! Etia menepuk jidat, kelupaan akan sesuatu.
Ia menatap kantung plastik di tangannya. Harusnya saat di depot tadi, ia mampir sebentar ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Etia mendengus sebal, ia terlalu menikmati suasana hingga melupakan hal yang sangat penting. Astaga, ia bahkan tidak mandi selama satu hari penuh.
Kepalanya menggeleng-geleng cepat. Mengusir segala pikiran buruk yang bisa saja meruntuhkan pertahanannya. Etia menghirup nafas dalam-dalam. Ia bisa berganti di toilet umum, ataupun masjid di sekitaran sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matha
Teen FictionMasalah selalu mencariku, mengerumuniku, lalu mendesakku hingga sudut terpojok, lubang tergelap, jurang tercuram. Tidak serentak, namun bertahap. Jika seperti itu terus, kapan habisnya? Kapan ada titik terang menemui ending? ⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️...