Sebelas🍁

148 16 14
                                    

Nafasnya tersegal-segal. Keringat bercucuran dari pori-pori di pelipis Etia. Suara langkah yang beradu dengan lantai terdengar kentara. Kakinya masih berlari untuk mengejar sesuatu. Matanya lurus ke depan, menatap tajam ke arah punggung yang semakin dekat keberadaannya.

Jika saja matanya ini memiliki laser berkekuatan tinggi, rasanya ia sangat ingin menembus punggung seseorang yang saat ini ia kejar.

Etia terlalu kaget, pun impulsif. Hingga meninggalkan Geya di belakang sana, dengan berlalu pergi tanpa penjelasan. Entah apakah ada sebuah teriakan kebingungan dari Geya yang memanggil-manggil namanya, atau sumpah serapah orang-orang yang tanpa sengaja Etia tubruk saat berlari, ia menghiraukannya. Dirinya terlalu mementingkan hal yang saat ini menjadi titik fokusnya.

Ya! Etia sedang mengejar seorang laki-laki.

Bukan-bukan seorang lelaki dengan wajah mempesona bak pemain sinetron Asia yang sanggup membuat mata tidak berkedip hingga kering kerontang, lantas menjerat hati Etia dan langsung mengejar-ngejar dia untuk mendapatkan selembar tanda tangan. Bukan!

Jika memang itu adanya, mungkin Etia akan benar-benar melakukan hal tersebut. Namun lain dengan kondisinya kali ini.

Laki-laki itu adalah seseorang yang sedang membawa kopernya! Benar, itu adalah kopernya. Jangan memarahi Etia dengan panggilan-panggilan konyol atau merutuknya. Karena ia juga sudah tahu bahwa sebuah pabrik tidak cuma membuat satu produk.

Etia memiliki alasan yang logis mengapa dirinya bisa mengetahuinya koper itu adalah miliknya.

Karena koper yang saat ini dipegang oleh laki-laki itu, adalah koper yang memiliki tempelan stiker Doraemon di pojok kanan bagian resletingnya. Tidak salah lagi. Penempatan letak, dan pose stiker yang sedang bersantai di pantai, sungguh persis seperti koper miliknya!

Okay, sekali lagi ia tahu bahwa sebuah pabrik memang tidak cuma membuat satu stiker! Tapi penempatan letak dan posenya adalah Etia yang menentukan! Ia juga memiliki ikatan batin dengan barang-barangnya.

Sepasang iris Etia berbinar. Akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan baju-baju kesayangannya. Kemeja kotak-kotak, kaus berlengan dengan motif bunga-bunga, celana olahraga, sepatu dan lain sebagainya. Terlebih ... -kalian pasti bisa menebak yang lainnya.

Etia mengernyitkan dahi, menatap laki-laki itu dari kejauhan. Ada dendam kesumat dalam dirinya saat mengingat gara-gara dia kesialan Etia bertambah parah. Ia lantas menyembunyikan kepalan tangan di belakang panggung. Dan saat dirinya sudah dekat dengan laki-laki itu maka-Buagh-laki-laki bertudung hitam itu terjatuh dengan ringisan yang keras.

***

"Adaww! Pelan-pelan, sakit!! Tuh kan astaga, sampai membiru gitu, akh!"

Pelipis itu tampak biru hampir keungu-unguan, dan mengkilap karena salep yang saat ini sedang Etia lulurkan pada hasil karyanya saat kepalan tangan Etia menghantam dengan telak kepala laki-laki di depannya. Etia ikut meringis saat cowok itu kembali merengek kesakitan, terlebih dengan genangan air di sudut mata sang empu.

"Aku minta maaf ... anu-" belum juga satu kalimat Etia ucapkan, cowok itu langsung memotong.

"Rasit, namaku Rasit! Dan kamu nggak bakal aku dimaafin sampai lebamnya hilang," cowok itu meringis kesakitan saat Etia menekan lebam di pelipisnya. "Dikira nggak sakit!? Lembut dikit dong!"

MathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang