Etia menyendokkan nasi dan lauk ke dalam mulut sangat perlahan, condong ogah-ogahan kalau boleh jujur. Ia terlihat sedikit tidak bernafsu saat makan. Bagaimana tidak, mencium bau kecut dari tubuhnya saja sudah sukses membuat nasi goreng yang seharusnya terasa gurih menjadi hambar. Suasana hati memang benar-benar sanggup memegang cita rasa makanan.
"Pantes aja kamu keliatan nggak selera makan. Habis jatuh, ketimpa tangga. Pasti mood langsung anjlok setelah kecompetan." Etia mengedikkan bahu, acuh mendengar kata-kata simpati seorang laki-laki di depannya. Eh perempuan, eh salah cowok, eh cewek. Ah apapun jenis kelamin dia!
Tuh kan, ia menghela nafas lagi. Mungkin ini masalah baru untuknya. Tuh kan kena masalah lagi. Padahal ia bukan cewek berandalan yang suka mencari masalah. Tetapi kenyataanya masalah yang suka mencari-cari dirinya.
Kini di depannya, duduk seorang cowok berseragam putih abu-abu yang katanya masih berumur 18 tahun, alias dua tahun di atas Etia. Rambut indah yang semula panjang tergerai sekarang berubah menjadi potongan cepak, sedikit berantakan dengan poni yang terjatuh di kening.
Tahu kenapa cowok itu bisa berubah seperti power rangers sedemikian cepatnya? Tentu karena cowok itu memakai wig; Rambut palsu; Efisien kalau dibuat bongkar-pasang.
Kenapa Etia bisa tahu? Mau bagaimana lagi, mau tidak mau ia terpaksa melihat cowok itu mencopot rambut palsu tepat di depannya, ralat, lebih tepatnya di depan umum. Dengan watadosnya. Ketambahan pula dengan cengiran. Lalu dengan santai berkata bahwa dia itu berjenis kelamin cowok, bukan cewek, apalagi banci.
Jadi ya begitu, seseorang yang ia kira bidadari nyasar ternyata adalah cowok yang ngakunya tulen.
Seharusnya dari awal ia sudah menyadari adanya kejanggalan, terbukti dari cowok tersebut yang memakai bawahan celana abu-abu, namun surainya malah terkesan sangat feminin, kan aneh. Namun bagaimana lagi, orang yang sedang linglung sepertinya mana bisa berpikir jernih.
Apapun itu deh. Ia tidak akan mencampuri. Sudah cukup masalah yang hadir hingga dirinya terasa dicekik. Etia tidak ingin menambah porsi kesialannya karena kepo.
Namun daripada itu, ada satu hal yang ingin ia suarakan saat ini. Etia memandang datar cowok yang sedari tadi suka senyam-senyum tidak jelas di depannya.
"Ban—ah, seniornya Luna. Entah kamu ini detektif yang nyamar jadi cewek, terus mau nangkep penjahat di asrama perempuan, atau emang kepincut pengen jadi cewek karena nggak cukup hanya dengan memiliki. Aku mau nanya."
Cowok itu menaikkan sebelah alis. "Seniornya Luna? Aku punya nama, dan nggak kenal yang namanya Luna diantara barisan mantan. Satu lagi, ada alesan kenapa aku pakai wig, tapi kamu nggak perlu tahu," Etia menatap bosan dengan silau yang cowok itu keluarkan saat tersenyum. "Jadi panggil aja Ikhsan. Btw, perlu apa? Aku bakal bantu sebisanya."
"Ada kos-kosan kosong nggak di daerah sini?"
"Ada." Ikhsan menjawab cepat, di luar yang ia duga. Dan sedikit mencurigakan.
"Beneran?"
"Iya."
"Serius nih?"
Ikhsan melebarkan garis bibir, "Kapan aku pernah bercandain kamu?"
"Kon lagi bercanda sekarang." Etia melotot. Namun terganti menjadi raut muka berpikir.
Etia sedikit tidak yakin. Lupa bahwa ia sendiri yang meminta tolong. Sebenarnya ia terpaksa begini pada orang yang padahal baru saja dikenalnya. Salah-salah ia bisa kena masalah baru kesekian kalinya.
Tetapi Etia benar-benar dalam keadaan mendesak saat ini. Ia jauh dari sanak keluarga yang selalu melindungi, tidak punya teman yang akan membantu, terlebih dengan insiden kecolongan yang baru saja ia alami. Berada di tempat yang rentan dengan kriminalitas beresiko membuatnya tidak bisa lagi melihat matahari pagi. Lagi pula ia pernah mendengar petuah bahwa malu bertanya sesat di jalan. Jadi apa salahnya mencoba.
"Yaudah, dimana tempatnya?"
"Di kosan aku masih ada kamar kosong,"
"Kosan kamu?"
Cowok itu mengangguk. "Ada tapinya."
"Apa?" Etia memejamkan mata, sejenak berpikir mendengar beberapa kalimat penjelasan Ikhsan tentang kos-kosannya. Dan ia mulai mengetahui ke arah mana cowok itu menjelaskan. "Yang penting... resikonya nggak sampai bikin aku berdarah, kan?"
Bunyi lonceng terdengar saat pintu kafe dibuka dengan sengaja oleh pengunjung. Lantas beriringan dengan suara sambutan ramah dari orang-orang berseragam khusus pegawai kafe. Sejenak mengalihkan perhatian Etia dan Ikhsan. Persekian detik setelahnya kembali seperti semula.
"Bahaya sih kayaknya enggak," Ikhsan menaikkan bahu. "Tapi nggak tau lagi. Porsi ketakutan orang kan beda-beda."
Bulu halus di sekitaran tengkuk Etia meremang mendengar ucapan terakhir yang cowok itu keluarkan.
Apa maksud dari pernyataan barusan? Jangan bilang kosannya angker. Jika itu benar, ia sudah saja akan pingsan berdiri. Etia sangat rentan dengan bebauan yang seperti itu. Gara-gara nonton casper saja ia bisa sampai tiga hari harus ditemani tantenya saat malam-malam ingin ke kamar mandi. Sial! Ia jadi tidak nafsu mandi.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pendek ya? Nikmatin aja, aku juga lagi menikmati ngetik tanpa buru-buru. Alias semaunya, nggak ngeharusin harus nurut sampai berapa ribu kata😂
Koen: kamu dalam bahasa yang lebih kasar. Kek lo, atau sia. Biasanya buat temen.
Salam,
jangan lupa tersenyum 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Matha
Teen FictionMasalah selalu mencariku, mengerumuniku, lalu mendesakku hingga sudut terpojok, lubang tergelap, jurang tercuram. Tidak serentak, namun bertahap. Jika seperti itu terus, kapan habisnya? Kapan ada titik terang menemui ending? ⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️...