Delapan

209 23 5
                                    

[sudah diedit]

Selamat membaca
;D





















Bunyi dentingan garpu yang beradu dengan piring kaca terkadang terdengar. Saat ini waktu sudah menunjuk pukul sebelas siang. Di ruangan luas minimanis, berisi meja makan panjang beserta orang-orang yang menduduki kursi.

Etia menyendokkan suapan terakhirnya ke dalam mulut. Berlanjut meneguk segelas air sampai tandas setengahnya.

Etia mengusap mulutnya dengan punggung tangan, ia lalu menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan menahan agar tidak bersendawa terlalu keras.

"Alhamdu,"

Etia menatap datar ke arah Ikhsan yang baru saja mengeluarkan suara, dan mungkin tertuju untuknya. "Lillah."

"Apaan sih, ini ustad, atau ustazah?."

Etia mendengus setelah mendengar tawa merendah dari Vierra. Ia lalu menatap Ikhsan yang sudah rapi dengan seragam dan wig. Aneh, bukannya kesal Ikhsan malah menampakkan cengiran.

"Nggak jelas banget deh, Mbak," Ikhsan masih asik memakan roti selai coklat tanpa sedikit pun melirik Vierra.

Vierra mendecih. "Eh Cican Thailand. Mulai berani ya?"

"Siapa bilang aku nggak takut?" jawab Ikhsan, santai.

Sebelum terjadi pertengkaran, Geya yang sedang memegang gelas langsung menginstruksi. "Duh udah deh Ican dan Mbak Icca. Stop jadi kucing dan anjing."

Ikhsan mengangguk, "Aku kucing. Mbak Vi, anji—"

"HEH BOCAH ILERAN!"

Etia mengernyitkan alis melihat pertengkaran yang 'kembali' terjadi. Apa mereka tidak bosan berteriak-teriak seperti ini? Apalagi—ehem, di depan Ayena.

Ia melirik patah-patah ke arah wanita paruh baya itu. Ayena tampang kalem sambil menikmati iklan sabun yang mendadak lewat. Sampai ketika Ayena membalas tatapan Etia, mungkin mengetahui dirinya sedang diperhatikan.

Etia langsung tersedak kaget. Ia sampai terbatuk karena ludahnya sendiri.

Sebuah tangan mengisi gelas Etia dengan air, lantas menyodorkannya pada Etia. "Pelan-pelan kalau minum," Etia melirik ke arah suara bariton tersebut. Seorang laki-laki yang—err memakai wig dan make up.

Etia menghela nafas. Sudahlah, toh ia akan terbiasa tinggal di kosan mewah tetapi absurd seperti ini.

Kosan khusus perempuan, tetapi ada saja siluman berwujud perempuan yang menetap. Entah bagaimana ceritanya di kosan ini ada para laki-laki yang menjelma menjadi perempuan. Namun satu hal yang Etia tahu, ia tidak terlalu suka pelajaran sejarah.

Yang isinya cuma menceritakan masa lalu.

Oh iya, nama cowok yang tadi memberinya minum adalah Hantar, dan sering dipanggil Geya dengan sebutan Acar. Jauh sekali bukan? Nyambungnya dari mana coba.

"Btw Acit kemana? Dua hari udah nggak nongol."

Etia menoleh ke arah Geya yang baru saja berbicara. Etia sudah tidak heran lagi mendengar panggilan-panggilan aneh yang Geya buat.

MathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang