Delapan Belas 🍁

88 18 15
                                    

Setelah Etia memasuki gerbang, ia mulai berjalan ke arah kelasnya yang berada di lantai tiga gedung IPA. Waktu masih menunjuk ke angka enam saat ia melihat ke arah jam tangan, pantas saja sekolah masih tampak sepi. Ya, setelah insiden ia hampir telat itu, Etia jadi antisipasi agar hal tersebut tidak terulang. Lagi-lagi dengan alasan supaya tidak berurusan dengan wakil ketos yang menyebalkan.

Bayangkan saja, dia kan sudah Etia hina lewat adiknya sendiri. Kali saja Bella bakal dendam dengan dirinya.

"Ehem. Hai Etia~" bulu kuduk Etia langsung berdiri sesaat setelah panggil bernada imut itu mengarah padanya, tubuhnya menegang seolah merasakan hawa-hawa tidak enak. Ia menoleh patah-patah.

'WAKETOS, ANJIR!!!'

Panjang umur buat dia, pendek umur untuk Etia. Belum juga satu menit Etia membatin tentang wakil ketos itu, eh sang empu malah ikutan nongol. Ia sampai meneguk ludah paksa. Dari pada itu, tahu dari mana Bella soalnya namanya?

"Tempe nggak sih? Kamu itu udah terkenal lho pas pertama kali masuk, makanya aku langsung tempe nama kamu," Cewek itu tersenyum manis. Etia tambah merinding, kenapa seolah-oleh cewek tersebut bisa membaca pikirannya, untuk yang kedua kalinya pula. Bella masih mempertahankan senyuman manisnya, ia lalu kembali melanjutkan ucapannya, "Kan gara-gara berurusan sama aku, kamu jadi terkenal, hihihi."

'KANG ADIT, AH! SEREM AMAT TUH KETAWA!!?'

"Y-ya terus?" Etia sok tenang. Padahal kakinya lumayan gemetaran.

"Ih, imutnyaaa~" Bella malah tertawa-ketiwi sambil mengipasi rambutnya, lagi-lagi dengan gayanya yang sok imut, perut Etia sampai bergejolak. "Nggak apa-apa deh. Oh iya, gue udah bilang ke dia buat jagain lo beberapa waktu ini. Setelahnya, biar gue dan kawan-kawan yang bakal turun tangan. Have fun, ya! Bai syantic-"

Menganga lebar. Waketos itu berjalan meninggalkannya dengan santai setelah seenaknya sendiri memberikan beberapa tepukan di ujung kepala Etia, seolah-olah dirinya adalah bocah yang butuh belaian. Etia sampai mengedipkan mata beberapa kali dan menggeleng-geleng kepala.

"Syatanic kali, ah."

Etia menghembuskan nafas, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas.

Saat berjalan di koridor, ia jadi menutup mukanya dengan sebelah tangan. Mengingat kejadian sialnya yang beruntun entah kenapa membuat suasana hatinya sedikit menurun. Namun setidaknya ingatan saat dirinya melihat ekspresi terkejut dari Tiana dan Edgar akan permintaan antimainstream darinya cukup untuk memperbaiki suasana.

Entah dapat izin dari mana mereka untuk membeli hal-hal aneh darinya. Satpam? Atau bahkan kepala sekolah?

Lagi pula ia masih berbaik hati hanya menyuruh mereka membelikan itu. Ketimbang harus membelikan seragam? Kempis dompet mereka yang ada.

Berkutat dengan pikirannya sendiri membuat Etia tidak sadar sudah dekat dengan ruang kelas. Ia lalu melangkah masuk ke dalam kelas. Biasanya pintu kelas selalu tertutup, sepertinya sudah ada yang datang terlebih dahulu. Dan benar saja, sesaat setelah Etia masuk ke dalam kelas, ia melihat Edgar sedang melakukan sesuatu di-bangkunya? Ada apa ini?

"Gar?" panggilan itu cukup untuk membuat dia tersentak dan menoleh. Etia bergerak cepat menghentikan aksi Edgar pada bangkunya setelah menyadari sesuatu. "Bangkunya diapain?"

MathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang