"Saat ini lo masih di posisi ter-blacklist. Lo termasuk dalam salah satu orang yang dijauhin satu sekolah."
"Tunggu bentar lagi, gue yang bakal selesain ini."
"Gue minta maaf ya, Etia."
Tiga kalimat ambigu yang Bella ucapkan padanya tadi sampai sekarang masih berputar di otaknya. Dari sekian banyak pernyataan-pernyataan yang para OSIS jelaskan padanya. Hanya tiga kalimat itulah yang Etia anggap bermakna ganjil dan memiliki sangkut paut atas permasalahan apa yang saat ini menimpanya.
Etia menghembuskan nafas. Perasaannya jadi lebih tidak enak.
Pikiran-pikiran negatif tiba-tiba muncul yang membuat Etia jadi tidak bisa berpikiran jernih.
"Aku nggak ngebuat masalah sama geng mereka, mereka duluan yang cari masalah sama aku," Etia menggaruk-garuk kepalanya. "Kok aku yang dibully? Kok aku yang harus berurusan sama OSIS?"
'Padahal aku masih anak baru.'
Plak- suara keras itu terdengar saat Etia menampar pipinya sendiri. Etia menghirup nafas dalam-dalam, menenangkan diri. Hampir saja ia melakukan hal yang sama sekali tidak menghasilkan apapun.
"Stay calm, Etia! Coba cari sudut pandang lain," Etia berbisik pada dirinya sendiri.
Etia mulai melangkahkan kakinya kembali ke dalam kelas. Setelah perbincangan antara dirinya dan para OSIS tadi memakan waktu lumayan lama. Ia melirik ke arah jam tangannya, kurang dua menit maka bel istirahat kedua akan berbunyi. Masih ada waktu untuk melakukan urusannya yang lain.
Etia tampak merogoh saku di roknya, mengambil ponsel. Tangannya terus mengetik dengan cepat pada layar benda bersegi panjang tersebut. Etia menghiraukan berbagai tatapan yang mengarah padanya, atau pun siswa yang tiba-tiba memberi jarak saat mengetahui dirinya berada di dekat Etia. Namun Etia menghiraukannya, ia terlalu fokus sampai ketika ada telapak tangan yang menyentuh bahunya.
"Apa?" Etia menoleh, mendapati cewek tersebut sedang menenteng dua bekal. Ia melirik sekilas, ternyata salah satunya adalah bekal makan Etia.
Cewek itu tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Gimana? Kamu nggak apa-apa kan? Anak OSIS ngomongin apa aja? Mereka bakal bantu kita, kan? Atau malah mereka bakal marahin kita karena buat masalah?"
"Kamu mau aku jawab yang mana dulu?" pertanyaan Tiana sungguh bertubi-tubi, dan Etia malas untuk menjawab hal tersebut satu persatu. Bukannya membalas ucapannya langsung, Tiana malah mengeluarkan tawa, "Kenapa ketawa?"
Tiana menggeleng. "Nggak apa-apa."
Etia menaikkan sebelah alis bingung. Tiana sepertinya juga tidak jadi melontarkan pertanyaan padanya. Dan berakhir dengan dirinya yang merasa risih saat Tiana terus menatapnya.
"Kalau mau tanya, tanya aja. Tapi satu-satu, dan jangan ngeliatin mulu. Merinding!" ucap Etia dan akhirnya mematikan ponselnya. Ia lalu balik menatap Tiana.
Tiana lagi-lagi menggelengkan kepala. "Aku cuma mau nyemangati dan bantu kamu aja, entah masalah ini karena aku atau bukan, aku tetep mau bantu kamu," Tiana tampak mengaruk-garuk belakang kepalanya. "Tapi aku masih nggak tau caranya."
Etia memasukkan ponsel ke dalam saku. Ia lalu memutuskan untuk duduk di kursi dekat taman diikuti oleh Tiana di belakangnya. Mereka bisa makan bekal di sini, karena ia yakin dirinya tidak akan bisa makan dengan tenang jika di kantin ataupun kelas.
"Kenapa kamu mau bantu aku?" pertanyaan itu keluar begitu saja. Etia pun tidak habis pikir dengan dirinya, kenapa tiba-tiba ia penasaran mendengar jawaban itu dari Tiana. Padahal Etia selalu melontarkan kata-kata sarkasme dan berperilaku sombong agar tidak ada orang yang mau dekat dengan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matha
Teen FictionMasalah selalu mencariku, mengerumuniku, lalu mendesakku hingga sudut terpojok, lubang tergelap, jurang tercuram. Tidak serentak, namun bertahap. Jika seperti itu terus, kapan habisnya? Kapan ada titik terang menemui ending? ⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️◾◼️⬛◼️◾▪️...