Bagian Enam
Jangan lupa follow ig Bellazmr
Jangan lupa voment
___
Setelah jam ke nol selesai, maka itu disebut waktu transisi dari yang tadinya sepi menjadi ramai dan kembali sepi lagi saat guru masuk.
Nah itu yang kini terjadi di dalam kelas sebelas ipa empat, kelas yang di tempati oleh Andini.
Perempuan itu terlihat santai memainkan handphone, mengupdate beberapa snapgram following-nya.
Sejenak melihat Andini menonton snapgram, Hana yang menjadi parter satu meja Andini antusias menyeletuk. "Oh Xabiru ya?"
Andini terkekeh. "Ucul banget ya?" balasnya.
Hana mengangguk setuju, "Iya. Sumpah ya, Din. Ponakan online se-Indonesia Raya itu makin hari, makin kayak permen yuppi. Pengin gue makan saking manis dan imutnya."
"Ada-ada aja sih lo."
"Bukan ada-ada, Din. Tapi benaran deh, kecilnya aja cakep ya, gimana gedenya," kekeh Hana.
Andini hanya tertawa, tangannya kembali mengusap-usap layar handphone melanjutkan kegiatannya menonton snapgram following-nya. Sampai kegiatan itu berhenti ketika Pak Joan—guru ekonomi masuk ke dalam kelasnya.
Ya, kalian tidak salah. Pak Joan memang guru ekonomi, walaupun kelas IPA, kurikulum 2013 yang diterapkan sejak beberapa tahun yang lalu memang mencanangkan program jalur peminatan untuk satu mata pelajaran IPS untuk anak IPA dan begitu sebaliknya.
Dan kelas Andini, sepakat memilih ekonomi.
Andini menggeluarkan buku cetaknya yang berada di laci sekolah, jujur saja sebenarnya ia tidak terlalu bersemangat belajar ekonomi. Ia tak terlalu suka menghitung uang berpuluh-puluh digitnya, tetapi sayangnya milik orang lain.
Dan satu lagi, Andini juga tidak terlalu gemar mata pelajaran seperti matematika yang sibuk menghitung luas panjang lebar bangunan ini bangunan itu, biologi yang membahas pembelahan sel, zigot sebagainya. Dan kimia, duh! Rumus fotosintesis saja Andini mana ingat.
Satu lagi, fisika, itu mata pelajaran paling berat. Hukum newton lah, Ya, Andini tidak pandai menghitung.
Yang Andini sukai sebenarnya adalah Bahasa Indonesia, entahlah di saat sebagian orang mengatakan bahwa pelajaran itu membosankan. Terlebih kalau disuruh membaca teks sepanjang harapan kamu untuk bersama dengan dirinya yang tidak ada ujungnya itu. Andini malah suka, itu mungkin salah satu alasan yang menyebabkan dirinya terdampar masuk ke Sanggar Teater.
Sebab ia suka bahasa, apalagi Sanggar Teaternya itu tidak cuma fokus kepada teater saja. Sanggar-nya itu juga mempelajari puisi, menulis naskah. Ah pokoknya sesuatu yang Andini suka. Makanya Andini betah.
Karena jika melihat sifat Andini yang tidak terlalu suka melibatkan diri pada sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya, bisa jadi Andini sudah berhenti dari ekstrakulikuler yang memiliki seribu satu cerita tidak menyenangkan.
Ya, macam buku dongeng saja ya 1001. Tapi Andini bertahan dan pada akhirnya, dia malah nyaman dan jatuh cinta.
Semua cerita itu Andini patahkan, dia malah nyaman tumbuh berkembang di dalam dunia teater dan sanggar seni. Memang benar, cinta itu perlu dicoba dan dijalani. Karena kalau tidak dicoba sama sekali, maka tidak akan tahu akhirnya seperti apa.
"Din, Din." Panggilan dari Hana berhasil mengembalikan pikiran Andini yang sempat mengkhayal kemana-mana, entahlah sudah jadi kebiasaan Andini sekali mengkhayal itu. Makanya dia sering ditunjuk untuk menulis naskah teater. Karena sifatnya itu, hobi mengkhayal sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break Out
Teen Fiction[SUDAH DITERBITKAN] Sebenarnya ekspresi datar dan bicara ceplas-ceplos bukanlah karakter Andini Raya. Tetapi karena tuntutan keadaan, mau tak mau dia harus berlagak seperti itu. Yang jadi permasalahannya adalah buntut dari sifat barunya itu adalah...