Bab Enam (2)

16K 1.7K 189
                                    

Bagian Enam

Bulan ini akan diadakan PO Break Out. Info lebih lanjut akan dikabari setelah cerita ini dipublish sampai bab 7.

Jangan lupa follow ; Bellazmr

_____

Kalau dipikir-pikir Andini itu kayak jelangkung. Pergi tak dijemput, pulang tak diantar.

Ya, itulah kehidupan masa SMA yang ia dijalani. Penuh engan dunia per-angkutan umum. Pulang dan pergi sekolah semuanya menggunakan bus.

Jadi sepertinya menunggu sudah jadi kebiasaan Andini. Lagipula menunggu bus itu lebih menyenangkan ketimbang menunggu gebetan untuk peka, ya lebih pasti. Bus pasti akan datang, kalau gebetan? Datang juga sih... pas lagi kesepian doang.

Andini melipat kedua tangannya di dada saat bus yang ia tumpangi selalu penuh, karena memang Andini tidak seantusias teman-temannya yang senasib.

Lihatlah ketika sebuah bus datang, mereka langsung cekatan masuk ke dalam bus itu. Seolah bus itu tujuannya ke surga saja, jadi pakai rebutan.

Oh ya, mengenai tukang ojek yang waktu itu ia bilang datang menjemputnya ketika kejadian Wildan. Itu tidak benar. Andini hanya mencari cara agar tidak terlalu jauh saja terlibat dalam kehidupan Wildan.

Entahlah, radarnya kuat, seolah Wildan itu status gunung api, maka Andini yakin bahwa berurusan dengan Wildan sama saja berada di level siaga bencana.

Dan sepertinya, semesta seolah sudah menuliskan Wildan sebagai bencana alam untuk Andini. Lihat saja, sekarang dengan lagak songongnya laki-laki itu baru saja menghentikan motornya di tepian trotoar, tempat Andini menunggu busnya.

"Pulang bareng gue aja." Tanpa pembukaan, Wildan langsung mengatakan tujuannya.

Andini pura-pura tidak mendengar, lagipula dari tampang saja, Wildan seharusnya sudah paham bahwa Andini tak ingin berurusan dengannya.

"Din, ayo," kata Wildan lagi.

Kali ini Andini jengah juga, ia menatap Wildan dengan ekspresi datarnya. Seolah muka Andini disetel sedemikian rupa.

Ah, Andini sebenarnya tidak jutek, ia ramah.
Hanya saja, kalau bersama Wildan. Rahangnya selalu kaku untuk berekspresi sesuatu, terlebih senyum.

"Ogah."

"Jangan ogah-ogah, gue bukan pemeran unyil. Ayolah, mau hujan nih, entar kalau lo kehujanan. Gimana."

"Emang gue peduli?" sambar Andini. Sejak putus dengan Wildan, hubungannya dan Wildan tidak berjalan baik. Mereka malah lebih mengarah kepada kedua orang yang tak mengenal satu sama lain.

Dan bagi Andini, tidak sepatutnya Wildan seperti ini lagi. Seolah dulu, mereka tak pernah mencoba saja.

Wildan menarik napas panjang, berhadapan dengan Andini ini seperti berhadapan dengan Raksasa Batu penjaga pulau Harta Karun di kartun Upin-Ipin. Ribet dan panjang urusannya. "Lo nggak peduli. Gue yang peduli," sahut Wildan cepat.

Andini menatap Wildan dengan sebelah alis terangkat.

Kadang jengah juga Wildan melihat Andini yang selalu setia menampilkan ekspresi seperti ini. Padahal setahu Wildan di hadapan orang lain, Andini bisa tertawa dan tersenyum. Tapi kepadanya?

"Naik, Din," pinta Wildan, suaranya lebih halus.

"Nggak," jawab Andini. Perempuan itu tetap menatap Wildan, "Gue udah jengah sama kelakukan lo. Kalau lo mau melakukan sesuatu ke gue, lebih baik nggak usah. Karena apa? Karena gue rasa, setahun yang lalu saat kita udah putus itu tandanya kita udah selesai."

Break OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang