Setelah kejadian itu, kusadari perasaanku ke Langit semakin tumbuh besar. Langit dan Bulan bersekolah di SMA yang sama. Sementara aku masih SMP waktu kejadian itu, karena aku dengan mereka berbeda satu tahun. Tahun itu aku merasa Langit semakin intens berinteraksi dengan Bulan. Kami jarang bermain bersama karena jadwal yang berbeda. Tapi, ketika aku masuk SMA yang sama dengan mereka, kami bertiga akrab seperti dulu. Keakraban kami tetap sama, tapi perasaanku ke Langit tidak, sementara sikap Langit ke Bulan semakin mesra saja.
Setiap bel istirahat berdering, Langit akan menjemput Bulan ke kelasnya lantas kami akan makan bertiga di kantin. Aku? Ya tentu saja aku harus menunggu mereka untuk booking tempat duduk. Kebayang kan bagaimana ramainya kantin sekolah jika tidak kita tempati lebih dulu? Bisa-bisa kami bertiga akan makan sambil berdiri.
"Hai, kalian!" Tanganku terangkat tinggi-tinggi melihat Langit dan Bulan berjalan beriringan.
Mereka menengok, berjalan ke arahku. Bulan duduk di sampingku, sementara Langit duduk di hadapan kami.
"Pusing." Kepala Bulan terkulai lemah di atas meja. Disusul Langit yang ikut-ikutan berlagak seperti orang mabok.
"Kenapa kalian?" tanyaku meringis.
"Fisika memabukkan," jawab Langit.
Bulan mengangguk, menyetujui.
Bersamaan dengan itu, es cendol yang lebih dulu kupesan datang menghampiri kami.
"Nih, minum es dulu. Siapa tahu pusingnya hilang." kataku kepada mereka.
Kami pun minum dengan khidmat sembari menunggu mie ayam tiba.
"Lo nanti kalau udah kelas tiga bakal merasakan apa yang kita rasakan. Gimana mabuknya tiap hari bergelut dengan rumus dan praktik di lab," ujar Langit.
Aku mengerutkan kening bingung. Perasaan selama ini aku belajar biasa saja. Mungkin karena aku tidak pernah benar-benar belajar. Sebab, prinsipku, kerjakan kalau bisa, tinggalkan kalau tidak bisa.
"Tenang, guys. minggu besok kita camping kok, hehehe," ucapku nyengir lebar mengingatkan rencana liburan kami yang sudah kami susun sejak tiga bulan lalu.
"Oh iya! Camping!" Sekejap hilang sudah beban rumus dari wajah mereka. Kami larut membicarakan persiapan camping yang menyenangkan untuk mengisi liburan yang sudah di depan mata.
***
Bagiku, Bulan adalah kakak yang baik. Sikapnya lembut dan cara bicaranya halus. Bulan banyak mengajariku bagaimana cara menjadi 'wanita'. Ettt, memang aku ini bukan wanita?! Emmm, maksudnya. Hey, memangnya salah kalau aku lebih suka menarik pelatuk pistol dari pada memegang spatula? Memangnya salah kalau aku lebih suka menarik busur panah dibanding memegang jarum untuk merajut? Memangnya salah kalau aku lebih suka memakai celana jeans oblong dari pada dress ataupun rok?
Bulan mengomel ketika kami hendak ke pesta ulang tahunnya Jingga, adiknya Langiit. "Pakai dress dong, Mi. Ini kan acara formal. Nih aku pinjamkan gaunku, ya! Nggak boleh ditolak."
Selesai kami berdandan. Lebih tepatnya, Bulan yang memaksaku memakai gaun dan sedikit riasan (untung sedikit). Kami berdua berdiri di depan cermin. Saling tersenyum. Semesta, kenapa aku harus mengenal perempuan sesempurna Bulan? Rambut panjangnya begitu halus dan jatuh, bola matanya berwarna abu-abu, kulitnya kuning langsat khas asia. Dia, yang sempurna, kini berdiri di sampingku. Memakai gaun berwarna putih gading selutut.
Sementara aku, body tukang pukul begini nggak ada cocok-cocoknya pakai gaun warna biru muda. Haduh. Dasar Bulan, mikir berapa kali sih dandanin aku? Kalau begini, aku lebih cocok jadi bodyguard-nya, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMY (Completed)
General FictionGue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. Dan dirajut dari banyak perasaan yang berkelindan. Jatuh cinta itu rumit. Serumit menenun kain. Apalagi untuk orang yang nggak ahli, kayak g...