Beberapa bulan kemudian...
Katanya, waktu adalah penyembuh paling ampuh.
Bohong.
Beberapa luka, ada yang tetap berdiam dan menyisakan kenangan yang terus-terusan berputar seperti sebuah film jangka panjang dengan adegan dan pemain yang sama.
Berusaha menghapusnya adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, ada manusia yang hidup dengan membawa kenangan itu di hatinya, melanjutkan kisah pada rutinitas yang terus bergulir serta berubah.
Salah satunya gue.
Yang berusaha melupakan dia, sayangnya sedikit kenangan kami seperti noda membandel di baju yang susah dihapus pakai pemutih atau sabun colek. Permanen.
Pada akhirnya, gue memilih untuk membiarkan segalanya mengalir sebagaimana mestinya. Tanpa berharap apa-apa lagi. Pernah nggak ada di titik di mana kalian merasa... 'ya udah, lah'? Just that. So do I.
Di tangan gue ada gulungan kertas yang mulai dihiasi bercak kuning. Lama berdiam di keranjang, bergabung dengan tongkat golf, pemukul baseball, raket yang senarnya putus, dan barang-barang yang lama tidak terpakai. Berdebu dan usang.
'Army on Revenge'. Tulisan besar di tengah yang kembali mengingatkan gue tentang kebodohan yang pernah gue lakukan. Kali ini, gue memilih untuk menyimpannya di dalam kotak di bawah kasur. Agar tidak gue lihat tapi tetap ada.
Berat membuangnya.
Biarlah kertas itu jadi bukti kalau dulu gue pernah salah. Dan dari kesalahan itu gue bisa menemukan sosok yang ternyata pernah jadi bagian dari cerita hidup gue. Bersama lika-liku di dalamnya. Kalau nggak ada kertas ini, gue nggak akan pernah mengenal dia. Mengenal keluarganya.
"Berangkat sekarang?" Ayah membuka pintu kamar gue ketika gue memasukkan kertas itu ke dalam kotak plastik warna hitam lalu mengembalikannya lagi ke kolong kasur.
Gue mengangguk, tersenyum kepada Ayah.
*****
Sepatu putih yang gue kenakan berketuk-ketuk saat menaiki anak tangga Gedung Fasilkom. Ruang berpintu kaca di lantai dua, paling ujung, menjadi tujuan gue siang ini. Laporan magang yang telah gue selesaikan akan gue serahkan kepada dosen pembimbing.
Pak Haryo, dosen Kecerdasan Buatan, yang akhir-akhir ini sulit banget ditemui, akhirnya menandatangani laporan kelompok gue.
"Makasih banyak, Pak," kata gue begitu beliau menandatangi seluruh berkas yang gue siapkan.
"Kamu nggak ada masalah di kantor tempatmu magang, 'kan?" tanyanya sebelum gue izin pamit.
"Insya Allah nggak ada, Pak. Bulan pertama memang saya dan Nanang sulit menyesuaikan ritme kerja mereka yang sangat dinamis. Tapi, berkat bimbingan dari kepala divisi, kami bisa beradaptasi, Pak."
Pak Haryo menganggukkan kepalanya. "Berarti, selanjutnya kamu akan ambil seminar proposal? Mau ambil judul tentang apa?" tanyanya.
Gue menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Duh, saya belum kepikiran, Pak."
Pak Haryo berdecak, "Dipikirin dari sekarang, supaya nggak terlambat lulusnya. Ya?"
"Siap, Pak."
Lima menit mengobrol ringan dengan Pak Haryo, gue menyerahkan laporan gue ke Tata Usaha Prodi.
Setelah urusan selesai, gue berjalan santai menuju Gedung Utama.
Lapangan pusat kampus dikerubungi banyak mahasiswa. Sorak-sorai mengudara beserta dentuman genderang yang terbuat dari galon, ember, dan bahan-bahan seadanya. Asal nyaring. Pertandingan futsal yang diselenggarakan pihak rektorat memang tidak pernah turun pamor sejak pertama kali diselenggarakan. Seluruh fakultas bersaing untuk mendapatkan piala bergilir tersebut setiap dua tahun sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMY (Completed)
General FictionGue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. Dan dirajut dari banyak perasaan yang berkelindan. Jatuh cinta itu rumit. Serumit menenun kain. Apalagi untuk orang yang nggak ahli, kayak g...