====================
Oke, sesuai janji, ini chapter lanjutan karena chapter sebelumnya dapet 200 vote! Seneng banget padahal baru upload semalam wkwkwk... Untuk chapter ini 200 vote lagi yuk. hepiriding.
====================
"Kita mau kemana sih?" Gue sedikit berteriak. Maklum, kalau orang ngobrol sambil naik motor, pasti rada nggak nyambung.
"Hah? ASI?" Kepala Bima mundur.
"Kita mau kemana? Pe'a!" Gue geplak aja helmnya.
"Hah?" Dia masih budek, pemirsa.
"Hah heh hoh!" Nyerah, deh. Gue memilih diam di belakang, membiarkan Bima membawa gue entah ke mana. Rute jalannya gue tahu, tapi tujuan jelasnya gue nggak paham.
Setelah cukup lama gue duduk di belakang, motor kami berhenti di sebuah perumahan di belakang gedung kantor yang tinggi. Rumah ini berada di deretan ruko yang kebanyakan sudah tutup. Mata gue mengernyit, sebuah rumah makan? Kedai?
"Ini rumah gue, yuk." Bima menggandeng tangan gue.
Kami masuk setelah memberi salam. Beberapa orang yang tengah beres-beres lantas menoleh ke arah kami. Sepertinya kedai ini juga akan tutup.
"Bima!" seru sebuah suara dari arah dapur. Seorang wanita yang rambutnya didominasi warna putih menghampiri kami.
"Bu, Bima pulang." Bima mencium tangan wanita itu. Ibunya ternyata. Gue ikut mencium tangan wanita yang Bima panggil Ibu.
"Ya ampun, jadi ini calon istri kamu? Cantik sekali, Bima." Wanita itu mengelus rambut gue.
Tunggu...
Ada yang salah...
Tunggu...
Tadi ibunya bilang apa? Gue? Calon istri?! Calon istri siapa?!
Mata gue sontak melotot ke arah Bima, meminta penjelasan. Bima, maksud lo apa?! Ini nggak ada di perjanjian kita!
"Maaf, Tan... Saya buk..."
"Ah, Ibu tahu kok. Yuk, masuk dulu. Kamu pasti lapar, kan?"
Tubuh gue digiring paksa secara halus, membuat gue sungkan untuk menolak. Gue nggak tahu apa-apa. Dan gue nggak paham ini situasi macam apa.
"Bu, dia bukan..." Omongan Bima dipotong juga.
"Siapa nama kamu, cantik? Ibu senang sekali bertemu kamu." Ibunya Bima menuntun gue ke salah satu kurs di dalam kedai. Mau nggak mau gue duduk, tersenyum kikuk. Rasanya bentar lagi gue pengin ngilang atau jadi tumbuhan aja.
"Army, Tante."
"Jangan panggil Tante, dong. Panggil Ibu aja." Dia mengibaskan tangan.
Ya Tuhan!
"I--Iya, Tan--eh--Ibu." Diam-diam, gue melotot lagi ke arah Bima yang diam berdiri kebingungan. Bima, jelasin sekarang!
Cowok itu mengangguk pasrah. Tenang, tenang.
"Bima, Army kamu ajak makan, dong! Yura! Ke sini, Nak! Ini ada calon istrinya Bima!" Baru aja gue mau meralat perkataan Ibunya, wanita itu keburu pergi ke dapur.
Bima duduk di depan gue, menyondongkan wajah, bersiap menerima segala sumpah serapah yang akan gue semburkan ke mukanya.
"Heh! Ini nggak ada di rencana kita! Maksud lo apa sih?!" Gue bisik-bisik. Gregetan sendiri.
"Gue juga nggak tahu. Udah, jangan dengerin nyokap gue. Entaran juga dia lupa. Ikutin aja apa maunya dia sekarang," jelas Bima di kuping gue.
"Tapi gue bukan calon istri lo, ish!" Rasanya pengin gue cakar muka cowok di depan gue ini. Eh, jangan deh, bisa-bisa gue disiram kuah rendang sama nyokapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMY (Completed)
General FictionGue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. Dan dirajut dari banyak perasaan yang berkelindan. Jatuh cinta itu rumit. Serumit menenun kain. Apalagi untuk orang yang nggak ahli, kayak g...