20. Perasaan Baru

5.6K 900 118
                                    

Kehadiran Bima menjadi warna tersendiri bagi Army. Ia terbiasa dengan bagaimana cara lelaki itu memperlakukannya. Seseorang yang terlalu di luar dugaan untuk bisa Army terka. Spontan, penuh kejutan sekaligus menyebalkan. 

Nyaman atau tidak, semua orang pasti setuju jika  ada dua hati yang  tanpa sadar saling menyembuhkan, pastilah mereka merasa nyaman satu sama lain. 

Dipandangnya Bima yang tengah menjelaskan materi di depan kelas. Kata-kata Bima mendengung di kepalanya, "Kita bisa hancur. Atau salah satu kita yang akan hancur. Entah hanya lo, atau hanya gue, atau kita berdua. Sebelum itu terjadi, jangan libatkan perasaan apa-apa selama kita menjalani ini. Karena kalau ada perasaan, pasti akan ada yang sakit."

Tuk.

Satu getokan spidol mendarat di kepala Army. "Malah bengong. Catet," ketusnya yang mendapat sorakan satu kelas. 

"Ciiieee." 

Bima tak menghiraukan. "Buruan catet sebelum gue hapus papan tulisnya." 

Army mencebik, "Iya, iya, bawel, deh. Nang, bagi binder sama pinjam pulpen."

Bima menahan napas agar tidak mendenguskannya di depan muka Army. Apa sih yang gorila ini bawa ke kampus? Cuma niat, kah? Ah, Bima saja ragu Army bawa niat ke kampus. Entahlah bagaimana masa depannya. Menyeramkan sekali. 

***

Ibu tengah mengelap meja-meja kayu ketika suara motor dari luar beradu dengan derasnya hujan. Yura yang melihat sinar lampu dari kejauhan segera mengambil payung, memayungi Army dan Bima yang turun dari motor, kehujanan.

"Ya ampun, kalian. Buruan masuk-masuk." Ibu khawatir. 

Bima dan Army setengah berlari menghindar dari derasnya hujan. 

"Bima! Kamu nggak bawa jas hujan?" tanya Ibu sebal, "'Mantu Ibu jadi kehujanan, kan." Dia mengambil handuk untuk Army. 

"Tanggung, Bu. Tadi pas sampai lampu merah langsung deras, Army yang minta lanjut," jelas Bima melepas jaket yang basah. 

"I--Iya, Bu. Bukan salah Bima, kok," sambung Army tersenyum. 

"Kamu mandi dulu, ya? Nanti kamu sakit. Pakai baju Yura aja." 

"Iya, Bu." 

"Yura, antar Army ke kamar mandi." 

Yura mengangguk, "Yuk, ke atas." 

Army dan Yura menaiki tangga.  Yura memberitahukan letak kamar mandi dan kamarnya. "Nanti gue siapin bajunya di atas kasur. Gue mau balik ke bawah dulu, mau bebenah."

"Oke, Kak. Makasih, ya." 

Yura berlalu. Army memerhatikan kamar Yura, aroma kopi mendominasi ruangan. Lampu belajar berwarna kuning hangat, jajaran buku tebal yang usang, dan beberapa tumbuhan kering yang sengaja ia taruh di atas meja. 

Kakinya segera beranjak menuju kamar mandi yang berada di ujung lorong. Hujan semakin lebat, angin kencang menerbangkan dedaunan dan membuat pohon tak seimbang, petir sesekali bergemuruh. Memasuki pancaroba, cuaca tidak menentu. 

Begitu selesai mandi, ia berlari kecil ke kamar Yura, lalu menutupnya. Di atas kasur sudah ada sepasang baju ganti. Kaus berwarna hitam dan celana tidur panjang. Syukurlah, pas di badannya. 

Ketika Army keluar kamar dengan handuk di kepala, Bima yang keluar kamar tertegun menatapnya. Bulir-bulir di rambut Army menetes ke bajunya, wajahnya begitu polos dan baju yang melekat di tubuhnya sangat pas. Bima menelan ludah, mengalihkan pandangan. 

"U--Udah selesai?" tanya Bima yang mendadak gagap. 

Army mengerutkan kening, kenapa nih anak, "Udah kok. Ini mau jemur handuk. Di mana, sih?"

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang