"Emang di mata lo, kita ini apa?" Perih menjalar ke mata gue yang menatapnya nanar.
Bima melepaskan genggamannya. Bergeming tanpa bisa menjawab. Dia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Lo nggak bisa jawab, kan?" Gue berdecih. "Variabel x dan y, nggak lebih. Jadi, jangan sok maksa. Gue nggak suka diatur-atur. Kita nggak ada apa-apa."
Lagi-lagi, ketika gue hendak melangkahkan kaki, Bima menahan tubuh gue. Ekspresinya berubah, bibirnya datar, seakan kekalutannya berganti jadi sesuatu yang membekukan hatinya.
"Gue berhak atas lo. Lo cewek gue, sampai waktu perjanjian kita habis." Netra kami beradu. Tidak ada gurat nyeleneh yang biasa menghiasi wajahnya. Tidak ada pula raut kesedihan yang bisa gue temui di sana. Yang ada hanya seorang Bima. Dengan segudang egonya yang datang secara tiba-tiba.
"Lo tahu apa doa gue sekarang? Gue harap perjanjian kita segera berakhir. Biar semua kekonyolan ini bisa kita udahin bareng-bareng. Dengan begitu, gue bisa tenang, lo juga bisa berbuat sesuka lo tanpa melibatkan gue." Gue mengempaskan tangannya lantas pergi meninggalkan dia yang berdiri di belakang.
Jangan menoleh, Army. Jangan menoleh
Gue nggak mau menengok. Pertahanan rapuh yang masih tersisa ini harus gue jaga baik-baik. Sekali saja gue berbalik, gue nggak akan sanggup menolak segala bentuk permintaan maafnya.
Kenapa gue harus sedih? Kenapa gue marah? Dan kenapa gue harus takut luluh?
****
Hari-hari berlalu cukup berat. Ya, berat, oleh sebab menghindari Bima itu sesulit mendeteksi paku jalan saat berkendara. Ditambah, gue udah kayak napi yang dikejar-kejar polisi, harus mengumpat, memastikaan kondisi aman sebelum berjalan menuju kelas, dan berlari secepatnya saat melihat orang itu muncul.
Semesta berbaik hati karena matkul Kecerdasan Buatan kembali diampu oleh dosen yang sesungguhnya. Gue nggak bisa ngebayangin gimana kalau Bima yang ngajar. Mau ngumpet ke mana? Kolong meja? Kalau muat sih, gue oke-oke aja.
Lagian, Bima tampaknya nyerah menghubungi gue. Seakan memberi gue kesempatan untuk sendiri. Sejak kejadian siang itu, dia nggak mengirim pesan atau menelpon barang sekali pun. Di satu sisi, gue bersyukur banget. Tapi di sisi lain, kok gue merasa...kayak ada yang kurang. Tanpa sadar, gue mengeluh melihat tidak ada notifikasi masuk darinya.
Pekan UAS dimulai dari Senin kemarin. Di beberapa matkul, gue lumayan percaya diri, nilai aman. Selebihnya, terserah takdir hidup ngasih nilai berapa. Kalau aja ada Bima, pasti gue bakal diajarin. Meskipun yang nyangkut di otak gue nggak banyak. Eh, kok, Bima lagi sih?!
"Ko! Ajarin gue, nih ada soal UAS." Gue duduk di depan laptop. Muka adik gue yang super duper nyebelin itu memenuhi layarnya. Buku panduan, buku tulis, semua siap di atas meja.
"Lah, tumben. Cowok lo yang terlihat pintar itu kemana?" tanya Koko asyik menyemil snack rumput laut favoritnya.
"Dia bukan cowok gue. Tapi dia emang pinter. Nggak usah banyak tanya. Tuh, soalnya udah gue kirim di WA."
Koko--yang tumben banget manut gitu aja--mengangguk. Malam ini, dia nggak jadi adik yang super duper nyebelin.
Kayaknya adik gue kesambet sesuatu, deh. Soalnya, dia nggak ngajarin sambil menistakan gue kayak yang sering dia lakukan. Misalnya, "Kok lo gini doang nggak tahu? Bego lo, ya?, "Ini, tuh caranya tinggal diginiin doang. Anak SMA juga tahu.", "Otak lo karatan?", dan masih banyak yang lebih parah. Gue kayak nggak ada harganya sebagai kakak di mata dia. Tumben-tumbennya malam ini dia kalem.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMY (Completed)
General FictionGue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. Dan dirajut dari banyak perasaan yang berkelindan. Jatuh cinta itu rumit. Serumit menenun kain. Apalagi untuk orang yang nggak ahli, kayak g...