Di tengah keramaian Gedung Kembar, tempat mata kuliah umum, tampak seorang perempuan berbaju hitam dengan cepolan rambut tinggi berjalan cepat menaiki tangga. Tidak perlu pakai lift, hanya di lantai tiga, pikirnya.
Dia menuju ruang Laboratorium Bahasa. Sesampainya di sana, dia membuka pintu. Tidak ada siapa pun kecuali seorang lelaki dengan kacamata bingkai hitam sedang fokus mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Army tertegun, Bima menoleh. "Lo nyari siapa?" tanyanya.
"Pak Hardi ada nggak? Gue disuruh nemuin dia di sini."
"Oh, baru aja tadi pulang. Katanya anaknya sakit."
Army mendesah, masuk ke dalam ruangan setelah menutup pintu. Bima kembali sibuk dengan pekerjaannya saat Army duduk di sampingnya, mengintip apa yang sedang dikerjakan cowok itu.
"Revisian, ya?" tanya Army hati-hati.
Bima mengangguk.
Hari ini Bima tak banyak bicara. Sedikit aneh rasanya, tetapi Army ogah ambil pusing, siapa tahu memang begini karakternya kalau lagi fokus. Persis kata ibu, "Kalau lagi fokus, nggak bisa diganggu."
Army membuka laptopnya, memilih mengerjakan sesuatu di samping cowok itu.
"Ada perlu apa ketemu Pak Hardi?" Mata Bima tak beralih.
"Mau nyerahin tugas."
"Kok bisa?"
"Telat ngumpulin. Hehehe."
"Ohh..."
Begitu saja.
Army mengerutkan alis, tumben sekali si nyebelin ini tidak meledeknya. Padahal Army sudah siap membalas kalau Bima mengejeknya yang telat mengumpulkan tugas.
Entah berapa lama mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Matahari menguning di ufuk barat, tampak matang, siap kembali ke peraduan.
"Akh! Selesai!" Bima meregangkan tubuhnya kuat-kuat. Rasanya pegal sekali duduk berjam-jam di depan layar.
Di samping Bima, Army tertidur pulas dengan kepala tergeletak di atas laptopnya.
"Heh, bangun! Gue udah selesai." Bima menepuk pelan bahu Army. Tak berhasil, cewek berambut cokelat itu urung menunjukkan tanda akan bangun dari mimpinya.
Ia tak kehabisan ide. Dipencetnya hidung Army, menyumbat oksigen masuk ke dalam paru-parunya, menahan Army bernapas. Barulah cara itu berhasil membangunkannya.
"Duh, ganggu deh!" Army mengerang.
"Bangun, oy. Malah tidur, lo pikir ini rumah nenek," sahut Bima sembari merapikan peralatannya. "Gue harus buru-buru ke gedung fakultas. Bentar lagi tutup."
Army mengucek mata, menyadari Bima bersiap pergi, ia ikut mengemas barangnya.
"Sorry, gue nggak bisa antar lo pulang sekarang," kata Bima.
Army menggeleng, "Gue bawa motor." Keduanya berdiri.
Bima mematikan AC, melepas stop kontak, merapikan beberapa bangku. Dia tak bisa meninggalkan ruangan ini dalam keadaan berantakan atau listrik yang masih menyala. Setelah diperiksa kembali, semua beres.
"Setelah gue kelar urusan pemberkasan, ayo kita nonton," ujarnya mengaitkan jemarinya ke sela jari Army. Rasanya hangat dan sangat pas.
Gadis itu mengangguk.
"Mi..." Bima memandang Army yang rambutnya berkilau keemasan disinari cahaya matahari yang menembus dinding kaca.
"Hmm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMY (Completed)
General FictionGue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. Dan dirajut dari banyak perasaan yang berkelindan. Jatuh cinta itu rumit. Serumit menenun kain. Apalagi untuk orang yang nggak ahli, kayak g...