Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk readers yang udah vote dan bersabar menunggu. Biarpun nggak sampai 500 vote di chapter sebelumnya, tapi nggak apa-apa. Aku sangat bersyukur bisa tahu siapa2 aja yang beneran nunggu cerita ini.
Part ini dipersembahkan khusus untuk kalian semua, pembaca setia Army. Aku sayang kalian :*
====================
Kuhanya menjadi cinta yang takkan terjadi
====================
"...Cukup sampai sini."
Mereka terdiam bersama. Ruangan mendadak hampa suara, segalanya berhenti, seperti reka adegan yang dijeda oleh seseorang.
"Ta--Tapi tenang aja, Bim. Gue tetap menjalani kesepakatan yang kita buat, kok. Satu bulan lagi, kan?"
Bibir Bima terkatup rapat, jakunnya naik turun, perlahan mengangguk.
"Oke, gue temani elo satu bulan ke depan."
"Lo yakin?" tanya Bima ragu-ragu.
Army mengangguk cepat, "Gue emang orang yang egois, tapi gue bukan orang yang mengingkari janji."
"Terus... lo gimana?"
"Gue? Nggak gimana-gimana."
"Maksud gue... perasaan lo gimana?" Bima mengangkat dagu Army.
"I'm not fine, but it's ok." Army berusaha menahan perih di matanya. Manik cokelat gelap itu mulai berkilauan, lalu mutiara cair turun dari pelupuknya.
Ibu jari Bima mengusap pipi gadis di hadapannya, memeluknya lembut. Tangis itu bukan untuk Langit. Tangis itu untuk kebodohan dirinya yang menyangka Langit akan menyesal, nyatanya di langkah pertama, rencananya langsung patah.
****
Empat hari kemudian, Army diperbolehkan pulang setelah lebih dulu berdebat dengan dokter. Sebenarnya ia masih harus dirawat beberapa hari lagi, namun karena ia merengek minta pulang dan meyakini dokter bahwa kondisinya baik-baik saja, permintaan Army dikabulkan. Keadaan lehernya pun semakin membaik. Yah, bukan Army namanya kalau tidak keras kepala.
Sebelum pulang, Army menyempatkan diri menjenguk Bulan yang kamarnya tak jauh dari tempat ia dirawat. Army membuka pintu, dilihatnya Bulan tengah makan disuapi Langit. Bulan tersenyum melihat Army.
"Hai. Kamu mau pulang?" Bulan menggerakkan tangannya, menyuruh Army mendekat.
Army mengangguk, berdiri di samping Bulan, di seberang tempat Langit duduk. Bima menutup pintu, menghampiri Army dan Bulan.
"Gimana kondisi, lo?" tanya Army khawatir.
"Udah baikan, kok. Cuma kadang jahitannya masih merembes." Bulan menunjuk perutnya.
Langit menatap Bima dingin. Bima menatap Langit datar.
"Sorry, Lan." Ah, lagi-lagi Army berharap waktu bisa diulang.
Bulan menggeleng, "Bukan salah kamu, Army. Aku malah mau bilang makasih, kalau nggak ada kamu, nggak tahu deh nasib aku gimana."
"Kira-kira pulangnya kapan?"
"Eum... Nggak tahu, sih. Kata dokter, kalau jahitannya udah sedikit mengering atau apa gitu tadi."
Army mengangguk, "Ya udah, cepat sembuh. Gue duluan ya, Lan." Army menunduk. Bulan mengangguk. Keduanya pun keluar dari kamar inap Bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMY (Completed)
General FictionGue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. Dan dirajut dari banyak perasaan yang berkelindan. Jatuh cinta itu rumit. Serumit menenun kain. Apalagi untuk orang yang nggak ahli, kayak g...