Puncak prome night akan dimulai setengah jam lagi, setelah acara games dan pentas seni yang diisi oleh beberapa mahasiswa berupa band, accoustic, stand up comedy, atau lainnya. Biasanya masuk ke acara yang sifatnya senang-senang, para dosen akan pulang lebih dulu dan menyerahkan seluruh kegiatannya kepada mahasiswa dan alumni. Asalkan ada laporan begitu kegiatan selesai, berupa dokumentasi dan laporan pertanggungjawaban tertulis.
"Lo mau ikut games nggak?" Bima yang baru saja mengambil minuman, menyikut lengan Army.
"Enggak, ah. Nggak mau." Army menggeleng cepat.
"Kalau ikut nyanyi di panggung? Mau?" tanyanya lagi.
"Enggak, ih!"
"Lo nggak bisa nyanyi atau main alat musik ya?" tebak Bima meledek Army, menekan-nekan pipi Army dengan telunjuknya.
"Enak aja! Bisa. Gue bisa main alat musik kok," sergah Army tak ingin kalah.
"Apa?"
"Pianika."
Bima tertawa lebar, menggelengkan kepalanya geli sendiri, hampir nggak percaya kalau gorila bergaun cokelat di depannya ini bisa melawak juga. Jeda waktu beberapa menit membuat suasana tak lagi kondusif. Banyak peserta yang mondar-mandir ke sana-kemari, mengobrol, berkumpul, dan bercanda. Orang yang main games di panggung juga tak mendapat animo baik dari peserta yang sudah sibuk sendiri.
Langit dan Bulan beranjak dari tempat duduknya. Army dengan cekatan melingkarkan tangannya ke pergelangan tangan Bima. Tak mau kalah dengan dua sejoli itu. Bahkan ketika keduanya mendekat ke arah Army dan Bima duduk, Army menyandarkan kepalanya di pundak Bima, bersikap manja, bikin Bima bingung ini anak kesambet apa.
"Selamat, ya, Bim. Atas kemenangan lo," Langit menjabat tangan Bima. "Gue kira dari kampus kita nggak ada yang berpartisipasi."
"Itu juga dadakan, sih. Makasih banget infonya." Bima tersenyum.
Di samping Langit, Bulan melambaikan tangannya kepada Army, say hi. Sementara Army, membalas sapaan Bulan dengan tersenyum lebar dan kepala yang nggak lepas dari pundak Bima.
Buset, dah, ini gorila satu aktingnya lebay banget. Keluh Bima dalam hati.
Ya ampun! Makin ilang aja urat malu gue. Army merutuki kebodohannya.
Langit memandang Army, sahabat kecilnya itu tampak bahagia. "Selamat, ya, Mi, atas hubungan kalian. Sekarang gue lega, cowok yang bisa dapetin hati lo ternyata Bima."
"Thanks, Lang. Gue juga nggak nyangka, sih. Kalau aja dari dulu gue bertemu Bima, pasti kebahagiaan gue nggak akan tertunda..." Army mendongak, memandang pemuda di sampingnya penuh... 'cinta'?
Menangkap sorot mata Army yang berbinar melengkung seperti sabit, Bima tak kuasa menahan bagaimana sensasi panas itu menjalar ke wajahnya. Tapi sebisa mungkin ia bersikap datar dan biasa saja. Walaupun Army sadar, pucuk daun telinga Bima merah padam.
Langit mengangguk setuju, tak lagi tampak raut kecewa apalagi sendu dari matanya. Ia justru ikut bahagia.
"Semoga hubungan kalian bisa ke tahap yang lebih serius, ya." Bulan ikut bersuara.
Army mengangguk, "Aamin. Doain ya, Lan."
"Yang terbaik untukmu, Army," ucap Bulan. "Kalau dia ngambek atau marah-marah terus, ajak dia jalan-jalan aja. Jangan beliin dia es krim, dia lebih suka yoghurt strawberry." Perkataan Bulan tertuju pada Bima.
Langit memandang gadis di sampingnya itu, semakin jatuh cinta saja oleh sebab hati Bulan yang sebening kristal. Bulan manusia baik yang sangat perhatian terhadap orang-orang di sekitarnya, termasuk sahabatnya, Army.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMY (Completed)
General FictionGue Army. Orang yang baru sadar kalau cinta itu tersusun dari banyak hal. Tercermin dari banyak perlakukan. Dan dirajut dari banyak perasaan yang berkelindan. Jatuh cinta itu rumit. Serumit menenun kain. Apalagi untuk orang yang nggak ahli, kayak g...