Pertemuan

3.1K 157 7
                                    


"Tuhan tidak akan menciptakan rindu jika ia tidak akan pernah menghadirkan pertemuan." – Boy Candra.

"Hei, pulang sekolah temani aku pergi ya?" ajak Sea sambil merangkul sahabatnya.

"Tidak mau. Aku malas," jawab sahabatnya.

"Nanon, ayolah!"

Sahabatnya yang bernama Nanon itu memutar bola matanya malas, "P'Singto akan menjemputmu. Dan ia tidak akan membiarkanmu pergi tanpanya. Sudah diam saja kau,"

Mendengar jawaban Nanon, Sea langsung manyun. Kesal sekali. Tapi ia tidak bisa membantah karena ucapan sahabatnya itu memang benar.

Sea Prachaya. Umur 17 tahun. Gadis cantik yang bertingkah jauh dari kata manis—hampir seperti anak laki-laki. Adik dari Singto Prachaya. Sea sangat bertolak belakang dengan kakaknya yang selalu diagung-agungkan oleh hampir semua orang. Bahkan tidak sedikit orang yang menyayangkan kenapa Singto harus memiliki adik seperti Sea. Tapi Sea tidak perduli, ia sangat mengidolakan Singto sebagai panutannya dan Singto sangat menyayangi Sea lebih dari apapun.

Singto Prachaya adalah pewaris utama Prachaya Company. Sejak orang tua mereka meninggal dunia tiga tahun yang lalu, semua urusan perusahaan langsung diturunkan kepada Singto. Singto yang masih sangat berduka harus langsung mengatur perusahaan yang nyaris diambang kehancuran. Singto yang sekarang berumur 25 tahun, harus rela kehilangan masa mudanya demi mengabdi pada perusahaan. Usaha tidak membohongi hasil, kerja kerasnya selama ini berbuah manis. Prachaya Company kembali bangkit dan berjaya walaupun tidak sekuat saat dipimpin oleh ayahnya dulu. Bagi Singto, hanya Sea-lah alasannya untuk bangkit kembali. Jika bukan karena Sea, mungkin Singto lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. Di sela kesibukannya yang sangat mencekik, Singto masih menyempatkan untuk mengantar dan menjemput sang adik. Dan Singto paling tidak suka jika Sea pergi tanpa dirinya.

"Kau kan tahu P'Singto sangat sibuk sekali. Ia tidak akan bisa menemaniku pergi," Sea masih berusaha membujuk Nanon.

"Kau ingin melihatku mati di tangan P'Singto?" balas Nanon sengit. Tempo hari ia pernah mengajak Sea main ke game centre hingga larut malam. Setelahnya, Singto langsung mengancam akan menggantung Nanon jika ia mengulangi lagi. Memikirkannya saja membuat Nanon bergidik ngeri.

"Sekali ini saja! kumohon.." bujuk Sea dengan muka memelas yang dibuat-buat.

"Berhenti menatapku seperti itu. Tidak berefek apa-apa untukku," Nanon tetap tidak perduli.

Tiba-tiba ponsel Sea yang berada di sakunya bergetar. Ada sebuah pesan singkat dari Singto. Heran, Sea membukanya.

Lalu... "NANON!!!!!!!!!!" Sea berteriak sambil mengguncang-guncang badan Nanon.

"NANON! LIHATLAH! LIHATTTT!" Sea menunjuk-nunjuk layar ponselnya.

From: P'Singto

Sea, maafkan P'. P' tidak bisa menjemputmu. Ada rapat mendadak dengan client. Pulanglah bersama Nanon. P'Singto akan membelikanmu makanan kesukaanmu.

P.s JANGAN pulang terlambat.

Setelah selesai membaca isi pesan dari Singto, Nanon langsung paham mengapa Sea mendadak bertingkah seperti orang gila. Nanon yakin pasti Sea sekarang sangat bahagia karena tidak ada P'Singto yang akan memarahinya. Kalau sudah begini, Nanon harus setuju dengan kemauan sahabatnya itu.

"Jadi, bisa kan menemaniku?" goda Sea sambil mencolek bahu Nanon.

"Iya, iya," jawab Nanon pasrah.

Yah, semoga saja P'Singto tidak akan tahu dan mengancamnya (lagi).

***

Tahulah Nanon mengapa Sea sangat bersikeras mengajaknya pergi. Setelah berjelajah di internet, Sea menemukan cafe bernama sapphire blue. Mungkin tidak ada yang berbeda dari makanan dan minuman yang mereka sajikan, hanya saja dekorasi dan desain cafe sapphire blue bertemakan laut. Dan hanya tuhan yang tahu seberapa cintanya Sea dengan laut.

Setelah mendapatkan tempat duduk, Nanon langsung menelaah buku menu. Sea? Oh, tidak usah khawatir. Gadis itu sedang memperhatikan setiap sudut cafe lalu berdecak kagum sendiri. Beruntung tidak ada yang memerhatikannya, siapapun yang melihat Sea saat ini pasti akan menyangkanya sebagai orang yang tidak waras.

"Nanon, lihatlah lampu itu! Indah sekali!"

Nanon menatapnya malas, "Aku tahu. Aku tidak buta,"

"Astaga, lihatlah!" Sea masih terkagum tidak perduli dengan Nanon yang hampir tidak tahan untuk tidak mengumpat.

Seorang pelayan mendekati Sea dan Nanon, bertanya ramah, "Ada yang bisa saya bantu?"

Sea langsung menoleh ke arah pelayan tersebut lalu menganga.

Nanon yang bingung, menoleh ke arah yang sama dan ikut menganga.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu lagi dan mulai khawatir karena mata seorang gadis di hadapannya mulai berkaca-kaca siap menangis.

Tangan Sea terulur menyentuh lengan pelayan tersebut lalu memegangnya erat. Air mata mulai turun membanjiri wajah cantiknya, suaranya tercekat, "Mama..."

Nanon segera tersadar, tangannya bergerak menghubungi P'Singto. Mengantisipasi jika terjadi sesuatu yang di luar kendalinya.

Pelayan tersebut tersenyum canggung, "Maaf, sepertinya kau salah orang."

Sea berdiri, memeluk pelayan tersebut erat. "Mama... Mama ke mana saja.."

Nanon melotot, tidak menyangka Sea akan bertingkah sejauh itu. "Sea, lepas. Ia bukan mamamu."

Sea menggeleng, tidak mau tahu. Ia semakin mengeratkan pelukannya.

Pelayan tersebut yang sejak tadi menatap Sea, berganti menatap Nanon. Meminta penjelasan. Yang ditatap hanya bisa menunduk sambil tetap berusaha melepaskan pelukan Sea. Nanon tidak bisa melihat sahabatnya menangis tersedu-sedu seperti ini.

15 menit kemudian, Singto datang. Langkahnya berderap menuju Sea yang sekarang sudah duduk di kursi.

"Nanon, ada apa ini?!" Napas Singto menderu. Begitu Nanon mengabarkan bahwa Sea menangis, Singto langsung meninggalkan rapatnya. Tangisan Sea adalah hal yang sangat tidak bisa Singto tolerir.

Mengetahui kakaknya sudah tiba, Sea yang sejak tadi menunduk dan menolak berbicara, mengangkat kepalanya dan beranjak memeluk Singto erat. Singto balas memeluk Sea sambil mengelus kepalanya sayang. Ia sangat tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan adiknya.

"Sea, ada apa denganmu?" Singto bertanya pelan.

Sea kembali menangis, "P'Singto! Aku menemukan Mama!"

Singto mengernyit tidak mengerti. Pandangannya mengedar ke seluruh cafe, lalu setelahnya napasnya tertahan. Tatapannya tertumbuk pada satu orang yang sejak tadi berada di dekat mereka. Jantung Singto berdegup dengan kencang. Singto paham sekarang. Paham sekali.

Mata itu...

TBC

cr pict: on the pict.

Bunga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang