"When i'm next to you i'm home," – One OK Rock, One way ticket.
Singto menatap Krist yang sekarang sudah tersipu malu. Ia tidak meminta apapun dari Krist sejujurnya. Meminta Krist untuk bekerja dengannya adalah alibi terbesar Singto agar Krist dapat tinggal di sisinya. Singto sampai tidak mengerti mengapa ia harus melakukan itu semua.
Singto tidak pernah menganggap Krist sebagai orang lain. Terlebih lagi sebagai ibunya. Bagi Singto, Krist adalah pribadi yang berbeda. Sangat berbeda. Singto memang menyukai tatapan teduh Krist yang selalu membuatnya damai. Tapi itu bukan alasan utama mengapa Singto bersikeras mendapatkan Krist.
Singto menyentuh kedua pundak Sea,"Baiklah, Sea. P'Krist-mu ini harus segera istirahat dan kau belum menyelesaikan tugas sekolahmu,"
Sea mengangguk lalu mencium pipi Krist,"Selamat malam, P'Krist. Semoga mimpi indah," Sea langsung pergi meninggalkan Krist dan juga Singto. Sama sekali tidak memedulikan Singto yang menatapnya terkejut.
"Aku rasa sebaiknya aku pergi," Singto menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Suasana ini sangat canggung. Krist hanya balas mengangguk.
"...Selamat malam, Krist," ujar Singto ragu sambil perlahan menutup pintu kamar Krist.
"Selamat malam, Singto." Pipi Krist semakin memanas. Ah, demamku belum kunjung turun juga.
***
Keesokan harinya Krist sudah membaik. Walaupun ia masih sedikit lemas setidaknya Krist sudah tidak demam dan pusing. Bahkan sekarang Krist sudah ikut sarapan bersama Singto dan Sea.
Tadi pagi Sea sudah heboh meminta Krist untuk sarapan bersama mereka—Sea dan Singto. Sea mengoceh betapa ia sangat bosan sarapan hanya berdua dengan P'Singto-nya yang pendiam, sama sekali tidak asik. Setelahnya Sea mendapat hadiah jitakan dari kakak tersayangnya. Krist tertawa geli lalu mengangguk menyetujui permintaan Sea.
Krist memakan sarapannya dengan diam, sesekali memberi tanggapan pada Sea yang tidak berhenti berceloteh di sampingnya. Sea benar, Singto yang pendiam semakin menjadi pendiam ketika makan. Perhatiannya terpusat pada komputer portabel di hadapannya. Singto meminta maaf tadi karena memakan sarapannya sambil bekerja tapi ia sungguhan sudah dikejar oleh target. Sedetik saja sangat berharga untuk Singto.
Alis Singto mengkerut. Wajahnya serius sekali. Penampilan yang sering terlihat ketika ia bekerja. Sea sudah sangat paham sehingga tidak ambil pusing. Namun Krist yang sangat jarang—coret—tidak pernah melihat hal itu menjadi khawatir pada Singto.
Singto mendongak merasa ada yang memerhatikannya. Lalu tatapan Singto bertubrukan dengan Krist yang menatapnya cemas. Singto tersenyum, berusaha mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Lalu Krist kembali dengan sarapannya dan Singto kembali pada pekerjaannya. Aneh, bahkan Krist belum mengatakan apapun tapi Singto seakan sudah mengerti dengan apa yang ia pikirkan.
"Krist?" panggil Singto tiba-tiba.
"Ya?"
"Nanti setelah aku menjemput Sea pulang sekolah, aku akan mengantarmu mengambil barang-barangmu,"
Ah, betul juga. Krist nyaris melupakan kamar kecil di rumah susunnya. Dan Krist kembali teringat bahwa yang ia kenakan sekarang adalah pakaian Singto. Pipi Krist kembali bersemu merah, satu pemandangan yang Singto sukai akhir-akhir ini. Krist mengangguk, setuju.
Selangkah lagi...
***
Di sinilah Singto sekarang. Kembali ke tempat tinggal Krist. Membantu Krist memasukan barangnya ke kotak. Menurut Krist sebenarnya ini tidak perlu. Barangnya tidak begitu banyak dan Krist merasa mampu untuk mengerjakannya sendiri. Tapi Singto tetaplah Singto. Singto bersikeras untuk membantunya dan mengancam akan mengadukannya pada Sea jika Krist terus menolak. Krist tidak punya pilihan lain atau sejak awal ini bukan pilihan melainkan perintah?
1 jam terlewati, Krist dan Singto sudah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah Krist berpamitan dengan induk semangnya, mereka melanjutkan perjalan menuju rumah kediaman Singto. Suasana di mobil sangat damai alih-alih canggung. Krist maupun Singto menikmatinya dalam diam.
Krist melirik Singto yang sudah banjir keringat. Tadi Singto sama sekali tidak mengijinkannya untuk mengangkat kotak-kotak itu satu pun. Krist hampir protes keras jika Singto tidak kembali mengancamnya. Menurut Singto, Krist masih belum sembuh sepenuhnya. Singto tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkan Krist kelelahan. Dan akhirnya sekarang baju Singto sudah basah dipenuhi keringat karena harus bolak-balik antara mobil dan kamar Krist.
Krist heran, Singto bisa saja membayar pesuruh tanpa harus bersusah payah seperti ini. Krist menggeleng diam-diam, Singto benar-benar tidak bisa ditebak.
***
Krist bukan orang yang tidak tahu berterima kasih. Sesampainya di rumah, Singto langsung menyuruh bibi untuk merapihkan barang Krist. Semakin memupuk rasa tidak enak dalam diri Krist. Tapi bibi hanya tersenyum tidak mempermasalahkannya. Sudah paham betul dengan karakter Singto.
Maka Krist memutuskan untuk memasak makan malam. Selama ini ia tinggal sendiri dan tidak pernah ada masalah dengan rasa masakannya. Walaupun tidak bisa Krist bantah bahwa ia sangat gugup. Takut masakannya tidak sesuai dengan selera Singto dan Sea.
"Krist? Kenapa kau yang memasak? Di mana bibi?" protes Singto sambil menghampirinya.
Krist menoleh dan berujar dengan pandangan yang ditundukkan,"Aku tidak mungkin membiarkan bibi memasak setelah ia merapihkan barang-barangku. Dan juga.."
"Dan juga?"
"Dan juga aku ingin berterima kasih untuk hari ini. Mungkin masakanku tidak seenak masakan bibi, tapi aku harap kau akan menyukainya."
Dada Singto menghangat. Semua yang ia lakukan hari ini tulus untuk Krist. Sesuatu yang terasa wajar untuk Singto kerjakan. Singto tidak berharap menerima balasan apapun dari Krist.
"Aku mengerti, Ta—"
"P'Krist masak? Yes! Akhirnya aku bisa merasakan masakan P'Krist!" Sea heboh berlari menuju dapur. Serta merta memotong pembicaraan Krist dan Singto.
Krist mengangguk sambil tersenyum. Pembicarannya dengan Singto sudah selesai menurutnya. Sekarang ada yang perlu Krist lebih perhatikan. Masakan di hadapannya.
***
Krist memasak nasi bakar keju dan omelette untuk makan malam. Hidangan yang sederhana namun sempurna. Singto dan Sea memakannya dengan lahap, Krist tersenyum gembira. Ia sudah takut saja jika masakannya tidak enak. Tapi lihatlah, sekarang Singto dan Sea bahkan merebutkan potongan omelette terakhir. Biasanya Singto akan mengalah untuk Sea tapi tidak kali ini.
"P'Krist! P'Singto jahat, ia tidak mau memberikan omelette itu padaku!" adu Sea pada Krist yang tidak bisa berhenti tertawa.
"Oh, ayolah, Sea. Kau bahkan sudah memakan setengahnya!" balas Singto sengit.
"Sea, besok P' akan masak lagi untukmu, tuan putri." Relai Krist yang sudah tidak tahan dengan pertengkaran kakak adik di hadapannya. Sea bersorak senang sambil menjulurkan lidahnya ke arah Singto. Meledek kakak tersayangnya.
Krist mengusap ujung matanya yang berair karena ia tertawa terlalu kencang. Hati Krist menghangat. Keramaian ini, Krist akan menukar segala yang ia punya untuk bisa merasakannya.
TBC
Hai, teman-teman. apa kabar? semoga hari kalian menyenangkan ya? Aku sangat berterima kasih sekali untuk yang sudah menunggu update-an cerita ini. aku terharu banget kalau ada satu dua yang nyemangatin, mungkin menurut kalian itu biasa aja but thats really means a lot to me. aku merasa dihargai :') Terimakasih ya?
cr.pict: nupear_dent

KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir
Teen Fiction"Aku menyayangi adikku dengan sepenuh hati. Apapun akan kulakukan demi membuatnya bahagia, termasuk mendapatkanmu." - Singto. "Aku akan selalu melindungi kakak tercintaku. Siapapun yang berani melukainya, akan berhadapan denganku." - Sea. "Aku tida...