"Jadilah teman marahku, teman bertengkarku, teman..." – Boy Candra
Semuanya berjalan tidak selalu manis. Ada kalinya manis itu sangat menyenangkan tapi juga ada saat tidak ada manisnya sedikit pun. Begitu pula yang terjadi dengan Krist dan Singto. Seharian ini mereka belum berkabar sama sekali.
Singto yang terlalu sibuk hingga pergi ke kantor pagi-pagi buta dan Krist yang tidak ingin mengganggu Singto. Seharusnya tidak ada masalah tetapi sejak tadi Krist memerhatikan jam yang sudah menunjukan lewat tengah malam dan Singto belum juga pulang. Sudah beberapa minggu Singto seperti ini, berangkat sangat pagi dan pulang sangat malam. Demi Tuhan, Krist sangat khawatir sekali. Beberapa minggu ini juga Krist yang mengantar jemput Sea hingga bahkan Sea sendiri belum bertemu lagi dengan Singto walaupun mereka satu rumah.
Kerinduan Sea terhadap Singto membuat Krist untuk kesekian kali harus membujuknya agar tidur lebih awal. Krist tahu bahwa Singto akan pulang larut lagi. Sea selalu merajuk dan bangun dengan kecewa karena Singto pasti sudah berangkat.
Krist terperanjat saat tiba-tiba saja Singto masuk. Jas dan kemejanya sudah sangat berantakan, dasinya tergantung tidak rapih. Singto masuk dengan terburu-buru,"Hai, Krist." Sapanya lalu segera masuk ke kamar.
Krist mengernyit, merasa ada yang salah. Ia sudah menunggu beberapa jam dan Singto hanya menyapanya begitu saja?
Krist memutuskan untuk menghampiri Singto. Terdengar suara banjuran air, Singto sedang mandi. Sambil menunggu Singto, Krist memerhatikan tas kerja Singto yang sesak akan banyak kertas. Krist tidak berani membereskannya, takut tidak sengaja menghilangkan dokumen penting.
Singto keluar dengan lebih segar, ia tersenyum melihat Krist,"Ada apa Krist?" tanpa menunggu jawaban Krist, Singto mengambil tas kerjanya lalu mengeluarkan beberapa dokumen juga laptopnya.
"Tidak, kau pulang terlalu larut. Sea rindu denganmu," Krist mulai malas dengan pembicaraan ini karena Singto sama sekali tidak menatapnya. Singto sibuk dengan dokumen yang sedang ia baca. Singto bahkan tidak membalas perkatannya melainkan hanya menggumam.
Krist berusaha mengalihkan perhatian Singto padanya,"Besok ingin sarapan apa?"
"Tidak usah, Krist. Mungkin aku akan berangkat pagi sekali." Jawab Singto masih dengan tidak melihat ke arah Krist.
"Kau tidak istirahat?" tanya Krist lagi.
Singto sekarang sudah mengambil dokumennya yang ke dua, bersiap untuk membaca,"Nanti, masih ada yang harus kukerjakan."
Sudah cukup! Tanpa bertanya lagi, Krist keluar menuju kamarnya dengan langkah panjang-panjang. Krist malas luar biasa. Kecemasannya berubah total menjadi kesal. Terserah.
Tidak mendengar suara apapun lagi, Singto mendongak. Krist sudah tidak ada di sampingnya. Singto hanya mengedikkan bahu dan kembali terfokus pada kerjaannya.
...
Krist terbangun dengan muram. Kekesalannya terhadap Singto semalam masih berdampak padanya. Krist tahu pasti Singto sudah berangkat namun itu tidak dapat menahannya untuk memeriksa kamar Singto. Pintu terbuka, menunjukan kasur yang sudah sangat rapih dan tidak ada siapapun di kamar itu. Bahkan Krist sangsi jika Singto benar-benar tidur semalam.
Bersandar lelah pada pintu, Krist menghela napas. Mungkin memang seharusnya ia yang lebih mengerti Singto dengan segala kesibukannya. Seharusnya semalam Krist tidak perlu marah. Seharusnya semalam ia bisa menghabiskan waktu dengan Singto. Krist rindu.
Krist menghela napas lagi dan mencoba untuk tersenyum. Ia harus segera menyiapkan sarapan untuk Sea dan juga masih harus bekerja. Pikiran-pikiran negatif tidak boleh sedikit pun memengaruhinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir
Novela Juvenil"Aku menyayangi adikku dengan sepenuh hati. Apapun akan kulakukan demi membuatnya bahagia, termasuk mendapatkanmu." - Singto. "Aku akan selalu melindungi kakak tercintaku. Siapapun yang berani melukainya, akan berhadapan denganku." - Sea. "Aku tida...