Secercah Cahaya

1.1K 132 30
                                    

"Kebahagiaanmu sangat berarti untukku."

.

.

.

Permintaan sederhana tetapi begitu sulit untuk mengabulkannya. Tapi Krist tidak sanggup jika harus menolak permintaan Sea. Akhirnya, Krist mendekat lalu memeluk tubuh Sea yang terasa sangat ringkih.

Air mata Sea mengalir juga, ia merasakan kedamaian, "Mama, aku sangat merindukanmu.."

"Sea!" panggil sebuah suara.

Sea terkejut, lalu menoleh. Matanya bertemu dengan kedua mata Singto yang menatapnya dengan marah.

"P'Singto?"

.

.

Singto sejak tadi diam saja. Tanpa mengatakan apapun, ia langsung menarik Sea untuk pergi. Giginya mengatup rapat. Kelihatan sekali jika ia sedang bersusah payah menahan amarah yang bisa meledak kapan saja.

Sepanjang jalan Sea hanya menundukkan kepalanya. Sedikit banyak bisa menebak apa yang akan menunggunya begitu sampai di rumah. Tapi tidak bisakah ia sedikit saja bersikap egois?

Setelah sampai di rumah, Singto dengan santainnya menendang pintu depan yang segera terbuka lebar. Bibi yang terkejut hanya menyingkir dalam diam, tidak berani ikut campur. Di belakangnya, Sea sudah gemetar ketakutan. Ia cukup pintar untuk memahami bahwa kakaknya sedang marah sekali.

Singto menghela napas berkali-kali, berusaha meredam emosinya. "Sea, kau sadar apa yang sudah kau lakukan?" tanya Singto yang langsung dibalas anggukan oleh Sea.

"Dan apakah kau tahu bahwa yang kau lakukan itu salah?" lanjut Singto sambil menatap tajam Sea.

"P', aku tidak sengaja bertemu dengan P'Krist. Sungguh.." Sea berusaha menjelaskan.

Singto mendengus remeh, "Lalu ada apa dengan pelukan itu? Sea, apakah kau sama sekali tidak menganggap diriku?"

Sea menggeleng keras, "P', aku hanya—"

"Apa keuntungan yang kau dapat jika bertemu dengannya? Untuk apa?!"

Sea mulai menangis, "P'Singto, bukan seperti itu.."

"Lantas apa? Kalau kau menghargaiku sebagai kakakmu, harusnya kau tidak menemui pemuda itu lagi, Sea."

"Namanya Krist, P'. Dan berhenti berbicara bahwa pemuda itu hina!"

Singto melotot, "Kau berani membentakku?!"

"P'Singto, aku hanya rindu Mama!!!" teriak Sea frustasi.

Sea menangis kencang, "Aku melihat Mama saat aku menatapnya. Aku rindu dipeluk Mama. Aku hanya ingin—"

"Mama sudah tidak ada!" potong Singto kejam.

Sedetik kemudian, Singto menyesal telah berkata seperti itu. Sea menatapnya dengan kecewa. Tanpa mengatakan apapun, Sea beranjak menuju kamarnya lalu membanting pintu dengan keras. Perkataan Singto memberikan efek yang besar untuk keduanya. Sea terkejut dengan omongan Singto, tidak menyangka kakaknya akan berkata demikian. Singto sendiri terperangah, dirinya sudah dikuasai oleh emosi.

Singto mengusap wajahnya lelah. Tidak tahu harus melakukan apa. Masalah semakin bertambah karena ulahnya sendiri. Singto menatap sedih pintu kamar Sea. Kemarahannya telah melukai adik tersayangnya. Tanpa Singto sadari, dirinya pun ikut terluka.

Singto menangis dalam diam...

***

Singto memerhatikan pintu kamar Sea yang tertutup rapat. Jam di tangannya menunjukan pukul 7. Harusnya Sea sudah sarapan dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Bunga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang