"Tidak ada yang pergi daripada hati. Tidak ada yang hilang dari sebuah kenangan." ― Tere Liye.
Singto termangu, Sea benar. Singto harus mengejar kembali kebahagiaannya. Singto tidak akan membiarkan kebahagiaan itu pergi darinya lagi. Segalanya akan Singto lakukan. Singto rela berkorban apapun demi mendapatkannya kembali.
Adanya salah paham di antara mereka dimulai dengan kemarahan Singto yang nyaris tidak berdasar. Singto seharusnya paham, Krist sangat polos. Krist tidak tahu menahu soal urusannya. Bagaimana bisa Singto langsung menarik kesimpulan begitu saja?
Singto begitu sombong. Merasa bahwa ia akan baik-baik saja tanpa Krist. Ternyata, Singto keliru. Ia bersikap seperti anak kecil yang tersakiti dan membutuhkan kasih sayang. Singto hanya tidak ingin mengakui bahwa ia kehilangan Krist. Kehilangan kebahagiaannya.
Menatap mata bulat Krist setelah begitu lama, membuat Singto sangat gugup. Ia tidak berhenti menggosok tangannya yang berkeringat. Singto nyaris menertawai dirinya sendiri.
Sejak Singto dan Krist meninggalkan cafe, tidak ada satu pun yang memulai pembicaraan. Singto hanya diam sambil menggenggam tangan Krist, merindukan kehangatannya. Ah, betapa Singto sangat rindu.
"Maafkan aku," Singto berujar lirih, menatap mata Krist yang berpendar sendu.
Krist menggeleng,"Aku yang salah. Jika saja aku lebih percaya denganmu," Krist menunduk, air mata yang ia tahan sejak tadi mengalir juga. Krist tidak bisa kuat jika dihadapkan pada Singto.
Singto mengusap lembut pipi Krist, menghapus air matanya. Akhirnya Singto menceritakan segalanya, tentang Darvid dan kesalah pahaman mereka. Singto mungkin saja salah, tapi ia tidak pernah ingin menyakiti Krist.
"Maafkan aku, Krist..."
Perlahan, Singto merengkuh tubuh ringkih Krist ke dalam dekapannya. Menyadari bahwa ia begitu menyayangi Krist. Singto pernah kehilangan Krist tapi tidak lagi, ia tidak akan membiarkan Krist pergi dari hidupnya.
"Bagaimana kabarmu?" Krist bertanya dengan masih sedikit terisak. Singto semakin kurus, tulang rahanya semakin tajam dan mata Singto bersinar lelah. Krist membenarkan letak poni Singto yang sudah memanjang.
Singto menghela napas lembut dan tersenyum,"Aku baik..."
"Krist, mungkin setelah ini akan ada banyak perdebatan yang terjadi di antara kita. Aku bisa lebih menyebalkan lagi. Mungkin saja. Tapi aku tidak akan melepasmu lagi."
Krist menatap Singto. Tidak ada sedikit pun keraguan dari setiap kata yang Singto ucapkan. Krist tersipu malu. Ia juga tidak pernah terpikir untuk mencintai orang lain selain lelaki di hadapannya ini.
"Maukah kau kembali bersamaku?" tanya Singto memastikan. Sebenarnya percuma karena ia sudah tahu jawaban Krist. Krist tersenyum lebar dan menganggukkan kepala. Singto menarik wajah Krist perlahan, mengecup bibirnya. Kegiatan yang sejak tadi Singto inginkan. Krist melingkarkan kedua lengannya pada leher Singto. Dan mereka larut dalam kecupan indah satu dengan yang lain.
***
Nanon mengernyitkan dahitnya. Sea tiba-tiba masuk ke dalam kamar, mengganggu tidur siangnya, dan bercerita panjang lebar tanpa henti. Bahkan Nanon masih mengumpulkan nyawa, tidak mengerti sama sekali dengan perkataan Sea.
"Jadi, Phi Singto sudah setuju pada keputusanku. Mungkin aku akan berangkat dua minggu setelah kelulusan, dan.. oh iya! Aku juga tidak akan diantar Phi Singto, sudah ada orang suruhan Phi yang menunggu di sana, dan—"
"Tunggu tunggu, apa maksudmu?" Nanon memegangi kepalanya yang pusing mendengar celotehan Sea.
Sea berdecak malas,"Aku akan melanjutkan sekolah ke Amerika,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Terakhir
Novela Juvenil"Aku menyayangi adikku dengan sepenuh hati. Apapun akan kulakukan demi membuatnya bahagia, termasuk mendapatkanmu." - Singto. "Aku akan selalu melindungi kakak tercintaku. Siapapun yang berani melukainya, akan berhadapan denganku." - Sea. "Aku tida...