part 1

38 0 0
                                    


Ayam mulai berkokok. Sang surya mulai menampakkan tanda-tanda kemunculannya. Pandangan kearah luarpun sudah terlihat jelas. Entah kapan perginya kabut tebal yang seseorang harapkan bertahan lama hari ini. Sayangnya kabut pagi ini lebih memilih untuk tidak memihak. orang yang tidak dipihak itu bernama rin. Perempun yang sampai sekarang masih meringkuk diatas kasur. Menelungkupkan wajahnya di sela-sela lipatan tangannya.

Sesengguknnya belum juga reda dari semalam. Ia sadar ada yng mendorong pintu kamar perlahan, namun ia memilih untuk tidak menghiraukan.
“rin. Sudah ya nangisnya. “ mbak eni. Tetangga rin. Wanita berumur 35 tahun itu mengelus pelan puncak kepala rin. Rin tidak menjawab. Ia masih berada pada posisi semula.

” rin. Coba angkat dulu wajahnya.” Rin masih tidak menghiraukan. “mbak mohon.” Merasa lelah juga menangis, rin pun mengikuti ucapan mbak eni.
Mbak eni mengambil nafas sejenak sebelum berbicara panjang.

“rin udah 18 tahun. udah beranjak dewasa. Rin harus kuat. Mbak tahu ditinggal sendirian oleh orangtua selama-lamanya itu memang berat. tapi itu bukan kehendak mereka rin. Allah yang udah netapin. Kematian emang gak bisa ditawar. Kapanpun itu. Ikhlas rin. Ikhlas.” Mbak rin berujar sangat lembut. menyinggung hal sensitive dari 50 hari yang lalu membuat tangis rin semakin pecah. Satu satunya keluarga yang ada saat ia mulai bernafas didunia sekarang sudah tidak ada lagi. Rin terpukul. Mbak eni memeluk rin yang sudah terkulai lemas. Airmatanya belum berhenti namun  tenaganya kentara sekali sudah terkuras.

“sabar, rin. “ mbak eni berulang kali mengucapkan kata itu. Ia memeluk rin erat. Membiarkan rin menuangkan kepiluannya. Ia tahu betapa terpuruknya perempuan yang Ia dekap. Hingga tangis rin mulai memelan karena kehabisan tenaga, mbak eni berucap kembali.

“ sedih berlarut-larut itu nggak baik, rin. Ibu dan ayah rin jelas nggak suka kalau tahu anak satu satunya ini tepuruk karna mereka tinggal. Cuma rin keluarga satu satunya yang ada. Mbak tau ibu dan ayah rin yatim piatu. Mereka sama-sama udah nggak punya keluarga dari kecil. Nggak tau  juga masih punya saudara atau nggak karena mereka sama sama besar di panti asuhan. Ya rin tahu sendiri panti asuhan gimana. Tapi selepas dari itu semua, rin nggak ada niat menyenangkan hati mereka?”. Perlahan rin menyeka airmatanya. Ucapan panjang lebar mbak eni sukses menarik perhatiannya kali ini. Rin terpaku. Menyenangkan mereka? bisakah?

“gimana caranya rin menyenangkan mereka?” rin bertanya. Ia ingin tahu.

“rin masih punya cita cita kan?” mbak eni balas bertanya.

“iya. Rin masih pengen jadi dosen.” Jawab rin.

“nah itu dia caranya rin." Sela mbak eni. "Kamu anak pintar. Orang tuamu belum berhasil dengan pendidikan. Mbak yakin kamu tahu gimana pentingnya pengetahuan luas untuk menjalani hidup. tanpa gelar di belakang nama, mencari sesuap nasi aja susah. Mbak nggak ada niatan menyinggung keluarga kamu. Mbak juga ngalami hal yang sama dengan kamu sebelum mbak dapat gelar di belakang nama. Kamu tahu itu. “ mbak eni berhenti sejenak. Rin kali ini menyimak dengan serius. Mungkin karena ia tidak ada pilihan selain itu. Air matanya sudah mengering.

“kamu paham kan maksud mbak?” lanjut mbak eni.  Rin mengangguk.
“mbak tahu kamu lulus beasiswa yang kamu daftrkan 3 bulan lalu. Hasilnya keluar dua minggu yang lalu. Mbak udah cek sendiri. “ rin terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka lulus. Bahkan sejak kecelakan orangtuanya, rin tidak ingat lagi dengan rencana untuk kuliah. Begitupun dengan hasil beasiswanya. Hatinya terlalu memprihatinkan sejak musibah itu.

“jalan udah kebuka. Betah mempertahankan keterpurukan kamu nggak bakal bikin orangtuamu senang, apalagi bangga. Masalah biaya, beasiswa yang kamu dapat lumayan besar. Cukup untuk bayar penuh uang semester dan uang makan sehari-hari kalau kamu bisa berhemat. mbak tahu keperluan kuliah itu banyak. Nggak Cuma uang semester aja. “ mbak eni berhenti sebentar. ia menghela nafas berat. rin mengerti arah pembicaraan ini.

OKSIGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang