part 2

13 0 0
                                    


Jika ciri khas kampung adalah keasriannya, maka kota punya khas berbeda. Semua orang tahu bahwa kebisingan, keramaian,kemacetan, sudah melekat pada kota dan menjelma menjadi ciri khas yang tak terbantahkan.

Seakan menguasai seluruh sudut yang dinamakan kota, ciri khas tersebut dapat di jumpai mulai dari ketika keluar pintu rumah, di jalan, di pasar, di mall, juga Bandara. Ah iya, bandara. Tempat yang akan berkali lipat lebih ramai saat pesawat landing. Berbagai ras dan suku seringkali dapat dijumpai disana. Begitu juga dengan busana beragam yang seringkali menarik perhatian. Salah satunya empat pria yang mengenakan busana serba hitam, badan berpostur tegap menandakan latihan keras itu membuat semua penghuni Bandara siang ini mengarahkan pandangan pada mereka.

Keempat orang itu tampak berjalan tergesa gesa, langkah kaki mereka lebar sekali menuju pria dengan jaket berwarna biru dongker yang menutupi hingga kepala. Pria itu mengenakan jins tanggung selutut dan sandal biasa sebagai alas kakinya ketika menyeret koper berukuran sedang.

"saya saja yang membawanya tuan." pria itu mendongak. Ia tidak melepaskan maskernya. Bola matanya bergerak menyapu satu persatu kempat orang yang sudah berjajar rapi di belakangnya. Merasa tidak mengenal orang-orang ini, pria itu memilih mengacuhkan dan berlalu pergi.

Keempat pria tidak di kenal itu rupanya tidak mau pergi. Mereka memilih mengikuti setiap langkah yang diayunkan oleh pria berjaket dongker itu. Kejadian itu membuat sebagian orang di bandara terang terangan memperhatikan mereka. Tidak sedikit dari orang orang disana mengira bahwa pria bersendal biasa itu bisa saja orang penting di pemerintahan,atau bahkan artis luar negeri meski penampilnnya sangat tidak masuk akal untuk dikatakan seperti itu.

Merasa jengah, pria itu berbalik menatap keempat pria yang mengikutinya.

"ngapain kalian ngikutin saya" ujar laki laki itu kesal. Salah seorang dari empat pria berbusana hitam itu menjawab. "nyonya besar memerinthkan kami, tuan muda."
"apa maksud kalian? Saya nggak paham. Tuan muda dan apa satunya lagi tadi? Oh iya, nyonya besar. Tuan muda dan nyonya besar siapa yang kalian maksud? Saya tidak punya kenalan orang orang yang dipanggil seperti itu. Kalian salah orang. " pria itu berhenti sejenak. lalu menatap selidik keempat orang itu.

" atau jangan jangan kalian mau menculik saya untuk di serahkan kebisnis prostitusi yang di gemari tante tante girang dengan menyamar sebagai orang yang menjemput saya. Jika benar yang akan kalian lakukan itu, artinya kalian sudah salah target. Saya bukan keluarga pemerintahan atau orang penting Negara sehigga harus terjamin keamannnya. Saya hanya penduduk biasa yang tidak memerlukan jemputan semacam ini. "

Keempat pria berbusana hitam itu saling berpandangan. Entah apa maksudnya. Pria berjaket itu tidak ambil pusing. ia kemudian melanjutkan ucapannya lagi.

" tidak usah tegang, kalian tidak akan saya teriaki penculik asal kalian pergi dari hadapan saya. Mudah saja kan? Saya orangnya mudah memaafkan memang." Setelah mengucapkan itu, pria itu berlalu pergi. Namun keempat pria berotot yang tersembunyi dari jas rapi warna hitam yang mereka kenakan itu menghalagi langkah pria itu lagi.

"apa lagi?" pria itu berdecak kesal.

"maaf tuan anfal. Nyonya besar, maksudku mama tuan sudah memerintahkan kami menjemput tuan. Pesan dari nyonya besar tadi kami boleh menyeret tuan jika tuan memilih menolak kami jemput." Tampang keempat orang itu benar benar serius saat mengatakannya. pria itu, anfal. Menghela nafas pelan. Padahal anfal sudah merasa lidahnya hebat sekali barusan. Ia memijit dahinya sebentar lalu menelepon seseorang untuk meminta pertanggungjawaban.

" wa'alaikumsalam. Astagfirullah. ma, mereka ini untuk apa?"

" kamu beneran nggak tahu pekerjan bodigar?" suara di seberang sana balas bertanya.

OKSIGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang