Chapter 7

3.6K 401 68
                                    

Satu minggu kemudian...

Krist menghela nafas, sudah 30 menit ia dan Wayo menguras air kolam renang di belakang rumah P'Beam. Entah sebenarnya mereka dibawa ke sini untuk di jaga atau dijadikan pelayan. Sejak pertama kali menginjakan kaki disini, P'Beam sudah memberlakukan peraturan-peraturan kerja, yang menurut Wayo pemaksaan pekerjaan 😂😂.

Peraturan pertama :
1. Bangun pagi lalu membuat sarapan untuk semua orang ( note penting : ganti menu setiap hari, jangan membuat masakan membosankan )

2. Cuci piring setelah makan.

3. Membersihkan kamar mandi, ruang tamu dan taman.

4. Tidak boleh pergi dari rumah ini tanpa ijin meskipun hanya ke minimart.

5. Ini peraturan yang paling menyebalkan menurut Wayo : harus menuruti semua perkataan P'Beam.

So, berkat 5 peraturan yang normal namun tidak normal menurut mereka, setiap hari mereka sibuk di suruh ini itu hingga belum memikirkan cara untuk balas dendam.

P'Beam duduk santai bersandar di kursi malas sambil meneguk jus jeruk dingin yang membuat Krist dan Wayo menelan ludah.

"Itu... masih ada daun disana." Kata Beam menunjukkan ada selembar daun diatas kolam renangnya.

"Aku tak mau lagi!!! Capek!!" Wayo membanting selang air yang ia pegang.

"Well... upah di potong 10%." Kata Beam sambil meneguk habis jus jeruknya. Beam memberi upah untuk kerja mereka 100 bath setiap hari.

"Perlu ku ingatkan ya!! Kalian ini bukan lagi anak orang kaya. Kalian harus kerja. Aku tak menampung kalian dengan gratis."

"Ini pemaksaan P!!" Bantah Wayo.

"A... pemaksaan ? Aku rasa tidak. KERJAKAN!!" Beam mulai mengeluarkan tanduknya.

"Hahaha... kau jangan terlalu keras pada mereka." Kata seseorang yang berjalan mendekati dan mencium pipinya. Ia adalah Forth, suami Beam. Beam dan Forth selama ini yang selalu mendukung Singto di saat-saat sulit. Mungkin di mata orang lain Beam terlihat menyiksa kedua bocah itu namun sebenarnya Beam ingin mereka sibuk hingga tak ada waktu memikirkan hal diluar kendali mereka sampai keadaan aman.

"Sudah, ayo istirahat dulu." Kata Forth memamerkan senyumnya. Kasihan Wayo dan Krist sudah basah kuyup akibat keringat dan air kolam.

"Eitzz... Krist boleh, kau tak boleh Wayo. Kerja, masih ada waktumu 10 menit lagi." Wayo mendumel kesal namun tetap mengerjakannya. Semua tertawa kecuali Wayo.

"Krist, ini...." Forth menyerahkan selembar kertas notice kepada Krist.

"P'Forth ini..." Krist menatap Forth dengan bingung.

"Tagihan ibumu sudah di lunasi, dan ibumu sudah di pindahkan ke rumah sakit dekat sini. Jika Beam mengijinkan, kau bisa menjenguknya nanti." Jelas  Forth. Mata Krist berkaca-kaca, selama ini ia takut ibunya menjadi telantar karena ia tak sanggup membayar biaya rumah sakit.

"Terima kasih P'Forth dan P'Beam." Kata Krist bersungguh-sungguh.

"Ini tidak gratis. Besok aku mau sarapan risotto." Kata Beam masih dengan nada cueknya. Krist tersenyum. Apapun permintaan Beam, akan Krist turuti walau membuat risotto itu susah.

***

"Fiuh... aku lelah" kata Wayo membanting dirinya ke kasur. Wayo dan Krist sengaja di tempatkan di satu kamar.

"Mau aku pijat ?" Tanya Krist. Krist juga lelah namun setelah ayahnya meninggal pekerjaan apapun ia ambil, jadi rasa menjadi anak orang kaya sudah hilang di diri Krist.

"Tak usah." Balas Wayo masih ketus.

"Kalau mau bilang saja."

"Kenapa kau tak membantah P'Beam ?" Tanya Wayo. Ia dan Krist masih belum bisa kembali seperti dulu. Masih ada hal yang perlu di luruskan.

"P'Beam itu cuma galak diluar namun sebenarnya dia baik." Kata Krist tertawa kecil.

"Baik darimana ?? Pagi sampai malam kita di suruh kerja. Apalagi di suruh kerja aneh seperti menyisir bulu kucing. Buat apa kucing yang bulunya dikit perlu disisir segala.Upahnya pun  kecil." Keluh Wayo.

"Akh pernah kerja lebih kasar dari ini." Kata Krist, matanya menerawang ke kehidupannya sebelum ketemu Singto. " Bahkan tubuhku pun aku jual."

Wayo terdiam mendengar hal itu. Akhir-akhir ini, ia baru menyadari apa yang dirasakan Krist dulu. Jika tak ada tempat yang menampungnya, ia tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ia tak akan sekuat Krist.

"Maaf Krist..." kata Wayo pelan. " Aku.. aku... tak seharusnya menuduhmu seperti itu... aku tahu kau terpaksa."

"Aku sudah memaafkanmu Wayo. Dan aku juga minta maaf. Mungkin aku lancang merasa beruntung bahwa klienku itu P'Singto yang nyatanya tunanganmu. Aku tak bisa membayangkan jika klien pertamaku om-om gendut dan mesum. Mungkin aku akan lebih menderita hahaha..." Krist sengaja membawa pembicaraan berat ini menjadi santai.

"Benar. Aku tahu, yang brengsek itu P'Sing. Dia selingkuh dariku." Kata Wayo kesal lalu menghela nafas. " Namun aku juga sadar bahwa ia tak per nah mencintaiku. Semua itu rekayasa."

"Apa.. apa kita bisa berteman lagi ?" Tanya Wayo pelan. Gengsinya sudah ia buang jauh-jauh. Ia dan Krist sekarang teman seperjuangan.

"Kita tak pernah putus, kita selalu berteman Yo. Kau adalah temanku. Sekarang maupun nanti." Wayo memeluk Krist. Ia tak pernah menyangka bahwa Krist bisa setegar ini. Padahal ia dan Krist sama-sama anak manja. Mungkin keadaan yang memaksa seseorang menjadi dewasa.

"Terima kasih Krist."

"Hei... dalam teman tak perlu mengucapkan terima kasih." Mereka pun tertawa bersama sebelum...

"BERISIK!! CEPAT TIDUR BOCAH!!"

***

Dua orang pemuda menatap sengit satu sama lain di sudut terpencil sebuah cafe. Masing-masing raut wajah mereka mengeras geram.

"Dengar Singto... aku tak mau jadi tunanganmu." Kata Phana. Singto tak pernah meminta apapun darinya dan sekarang hal pertama yang di minta Singto  adalah menjadi tunangannya.

"Hanya berpura-pura Phana." Kata Singto menghela nafas lelah.

"Berpura-pura pun aku tak mau. Apa kau sama sekali tak memikirkan perasaan Wayo ?" Kata Phana dengan inotasi tinggi.

"Ini demi Wayo." Jawab Singto masih mempertahankan nada bicaranya.

"Demi Wayo hahaha.... setelah kau buang dia, sekarang kau bilang demi Wayo ?? Kau pikir aku percaya ?" Phana tertawa meremehkan.

"Lalu apa yang kau lakukan saat ayah Wayo di penjara ? Melakukan operasi ? Memeriksa pasien ? Apa dengan begitu ayah Wayo bisa bebas ?" Kata Singto menyeringai balik.

"KAU!!!...."

"Tenang dirimu Phana." Singto menyuruh Phana duduk kembali agar tak menarik perhatian.

"Dengar, saat ini kau tak punya kekuatan, begitu juga dengan aku. Aku perlu bukti untuk mengembalikan semua keadaan seperti sedia kala. Banyak mata-mata ayahku yang memperhatikan gerak-gerikku. Aku tak bisa bergerak leluasa. Oleh karena itu, aku butuh bantuanmu." Jelas Singto.

"Kenapa aku ?" Tanya Phana.

"Karena si pak tua itu mulai melirik keluarga Kongtinan."

"Bajingan!!" Phana memukul meja hingga gelas kopinya jatuh dan pecah. Segera pelayan cafe datang untuk membersihkannya.

"Akan kubereskan sendiri." Ucap Phana.

"Caranya ? Dan apa kau tahu bahwa ayahmu juga ikut andil dalam jatuhnya Mr. Panitchayasawad ?" Phana terdiam.

"Kurasa dengan diamnya dirimu, jawaban sudah jelas bahwa kau tahu ayahmu terlibat tapi kau tak berbuat apapun. Dan sekarang kau marah demi Wayo, bukankah hal itu lucu. Jika kau ingin menyelamatkan Wayo, bergabunglah denganku. Kita jatuhkan dia. Are you joint me ?"

"Deal!"

11. THE SECOND (BAHASA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang