Seorang pemuda dengan penuh amarah memasuki gerbang rumah mewah yang menjadi tempat bermainnya sewaktu masih kecil. Rumah itu bukan lagi sebuah rumah untuknya melainkan sebuah penjara.
Pemuda itu membuka pintu dengan kasar membuat para pelayan terkejut di buatnya.
"Tuan muda Singto.." sapa kepala pelayan. Tuan mua yang mereka kenal dulu sudah tidak ada sejak peristiwa menyedihkan itu.
"Dimana Mr. Suthiluck ?" Sejak kejadian dimana teman baiknya bunuh diri karena perusahaan ayah teman baiknya di buat bangkrut oleh ayahnya sendiri. Sejak saat itu, Singto tak pernah lagi memanggil sebutan ayah pada ayahnya melainkan memanggil nama keluarganya saja, seakan-akan ayahnya itu orang lain.
"Tuan... Tuan besar ada di ruang kerjanya." Kata pelayan itu takut.
Baru saja Singto ingin melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan ayahnya, sebuah panggilan suara menahannya.
"Sing... kau pulang nak..." wanita cantik yang sudah tergerus oleh usia itu menatap Singto dengan sedih. Singto memang bukan anak kandung wanita itu tapi wanita itu yang telah mengasuh Singto sejak ibunya meninggal saat Singto umur 5 tahun.
"Mae..." Singto berjalan dan memeluk wanita tua itu. Badan yang semakin kurus dan ringkih membuat hati Singto sakit. Senyum yang dulu di pancarkan telah pudar, badan sehat dulu telah menjadi tulang dan kulit saja.
"Kau.. kau... Mae rindu.." air mata wanita itu tak terbendung lagi, Singto sudah tak pulang kerumah sejak 5 tahun lalu.
"Aku juga rindu Mae..." Singto juga merindukan kasih sayang mae-nya.
"Apa kau akan tinggal kembali disini ?" Tanya wanita itu penuh harap namun kecewa ketika Singto mengelengkan kepalanya sebagai pengganti kata 'TIDAK'
"Mae.. tahu alasannya." Jawab Singto yang melepaskan pelukan maenya.
"Iya.. mae tahu... maaf mae tak bisa membantumu.." jika saja badannya seperti dulu, sudah dari dulu ia akan membela Singto sekuat tenaga, tapi apa daya penyakit telah merenggut kekuatannya.
"Kau makan dengan teratur ?" Tanya Mae yang menatap Singto dengan sendu. Singto mengangguk.
"Kau tak mencoba untuk... untuk..." Mae tak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia tak mau mengenang peristiwa dulu, seakan jantungnya berhenti melihat Singto bersimbah darah.
"Bunuh diri ? Tidak Mae.. aku sedang berusaha." Kata Singto mencoba meyakinkan Mae-nya.
"Sing..."
"Mae... suatu saat, aku akan bisa membawa mae pergi dari sini. Tinggal bersamaku. Mae tenang saja, aku sudah punya pelayan yang lucu, namanya Krist dan Wayo." Cerita Singto.
"Krist ? Dia..."
"Dia anak itu Mae. Anak dr Mr. Rojnapat." Mae mengangguk paham.
"Apa dia baik-baik saja ?" Tanya Mae khawatir.
"Dia baik-baik saja. Aku akan melindunginya. Aku berjanji." Mae tersenyum puas atas jawaban Singto.
"Tuan muda..." sang kepala pelayan memgingatkan bahwa tuan besar sudah menunggu Singto.
"Aku akan segera kesana." Kata Singto ketus. Lalu berbalik ke mae-nya.
"Mae, Singto harus mengurus sesuatu." Kata Singto berpamitan.
"Hati-hatilah nak, doa mae selalu menyertaimu." Mae mengecup pucuk kepala Singto, memberikan berkat perlindungannya. Semoga saja Tuhan akan mendengar doanya.
"Singto pergi dulu Mae..."
Singto berjalan menemui ruang kerja ayahnya. Sebuah tepuk tangan mengisi suara ruang kosong itu.
"Wah... wah... anak tunggalku sudah pulang." Pria separuh baya itu membuka tangannya lebar-lebar untuk memeluk anaknya yang telah lama tak pulang.
"Katakan! Kenapa kau hancurkan keluarga Panitchayasawad ?" Tanya Singto dengan tatapan menusuk. Tak ada kehangan sedikit pun yang di pancarkan melalui matanya.
"Bukankah sudah jelas, saham mereka sudah jadi milik kita. Buat apa lagi kita berhubungan dengan mereka. Ah.. dan kau menjadi bebas sekarang. Dari awal kau menolak pertunangan ini bukan ?" Kata pria itu menyeringai. Ia tahu betul sifat anaknya.
"Lalu kau ingin menjodohkan aku dengan yang lain ?" Tanya Singto geram.
"Betul. Kali ini aku melirik rumah sakit. Keluarga Kongtinam sepertinya cocok menjadi besan untukku. "
"AKU TAK MAU!!"
"KAU TAK BISA MENOLAKKU. JIKA KAU MENOLAK, PENGOBATAN MAEMU AKAN KUHENTIKAN." Ancam pria itu.
"Apa... apa... selama ini kau pernah menganggapku sebagai anakmu ? Anak sesungguhnya ?"
"Tentu saja kau anakku. Suatu saat Suthiluck group akan menjadi milikmu. Aku melakukan ini demi untukmu Singto. Kau mengerti kan ?"
"Baiklah, jangan sentuh Krist dan Wayo. Itu syaratku." Singto mencoba menekan rasa takutnya, menahan getaran giginya satu sama lain.
"Kenapa ?"
"Mereka milikku. Pelayanku."
"Ok, tak masalah. Selama kau menurutiku maka mereka akan aman-aman saja. Bagaimana ?" Tawar pria itu.
"As you wish."
***
"Aku tak mau ikut!!" Wayo tetap bersikukuh untuk tinggal di apartemen Singto saja. Ia masih ingin meminta semua penjelasan dari Singto. Rasa cinta itu sudah pudar, berganti oleh rasa amarah dan sakit hati.
"Terserah, jika kau ingin mati sia-sia." Ucap Beam yang tak peduli atas rengekan Wayo. Beam malah menyeduh teh panas untuk dirinya sendiri.
"Lalu bagaimana denganmu Krist ?" Beam bertanya sambil mencium harum teh bunga melatinya.
"Aku ingin tahu kejadian sebenarnya. Tapi aku harus bisa menjaga diriku sendiri. Aku ikut P'Beam. Walau aku tak tahu P'Beam itu masuk orang jahat atau orang baik." Kata Krist. Ia memang marah tapi ia juga perlu hidup untuk balas dendam. Lagipula ibunya masih membutuhkannya.
"Hahaha... aku suka sekali orang sepertimu Krist. Tak seperti dia. Anak manja." Kata Beam menunjuk ke Wayo.
"Bereskan barangmu, aku tunggu 5 menit." Perintah Beam. Krist menarik Wayo masuk ke kamar.
"Yo... aku tahu kau marah. Tapi kita harus hidup melihat apa yang sebenarnya terjadi." Krist mencoba membujuk Wayo.
"Aku tak butuh nasehatmy penipu!!" Kata Wayo masih penuh nada marah.
"Kau boleh marah padaku, boleh memukulku. Menjadikanku pelayan juga boleh. Tapi please, ayahmu membutuhkan pertolonganmu. Jika kau tiada, siapa lagi yang akan menolong ayahmu ?" Jelas Krist mencoba memasukan logika ke otak Wayo. Wayo terdiam merasa perkataan Krist ada benarnya.
"Kita tak punya kekuatan. Kita hanya bisa mengikuti arus. Dan sekarang kita hanya bisa berlindung pada P'Beam dan P..." Krist tak mau menyebutkan nama Singto. Kesan baik Singto sudah hilang di mata Krist sejak ia mengetahui bahwa ayah Singto penyebab semua ini.
Wayo menarik nafas berat. "Oke, aku ikut. Tapi bukan berarti aku memaafkanmu. Aku harus hidup demi ayahku."
"Aku tahu. Kau boleh memakai bajuku. " Krist memberikan beberapa helai baju dan celana miliknya. Krist memasukan ke ransel sekolah, tak lupa foto keluarga dan buku tabungan juga ia bawa.
Wayo melakukan hal yang sama hanya saja ia tak punya kenangan apapun sekaramg kecuali liontin pemberian ayahnya yang ia pakai saat ini.
Mereka mengepak dalam diam lalu keluar menemui P'Beam. Mungkin sekarang mereka musuh tapi sementara mereka akan menjadi teman demi menaklukan seseorang yaitu
'SAMUEL SUTHILUCK'