Krist berjalan bolak balik, ia khawatir sudah 7 jam P'Beam pergi namun belum kembali. Biasanya P'Beam hanya memerlukan waktu 1 jam untuk belanja di supermarket.
Wayo juga tak kalah khawatirnya, Ia dengan gelisah menatap pintu dengan harapan P'Beam segera pulang.
"Apa kita perlu lapor polisi ?" Tanya Wayo.
"Belum 24 jam P'Beam menghilang, lagipula kita hanya anak-anak, mungkin pak polisi tak mau menanggapi kita." Jawab Krist.
"Apa yang harus kita lakukan ?" Wayo mulai mengigit kuku-kuku jarinya. Ini kebiasaan Wayo jika ia dalam mode gugup.
"Kita telepon P'Forth."
30 menit kemudian...
Forth membuka pintu dengan tergesa-gesa setelah mendapat laporan dari Krist dan Wayo. Krist dan Wayo mulai menangis ketika melihat Forth sudah datang.
"P'Beam belum pulang hua... hua..." kata Wayo sambil menangis.
"Sudah 7 jam, tapi belum pulang hua..." Krist mulai ikut-ikutan.
"Kalian jangan menangis dulu, jelaskan semuanya pada P." Kata Forth mencoba menenangkan dua bocah nakal itu.
"P... P'Beam bilang mau belanja makanan di supermarket namun sampai sekarang P'Beam belum pulang. Gimana ini P'Forth ?" Kata Krist gemetar. Ia khawatir terjadi hal yang buruk pada Beam.
"Handphonenya juga tidak aktif." Sambung Wayo.
BRAK...!! Suara pintu dibuka paksa.
"Dimana P'Beam ?" Tanya orang yang baru masuk itu dengan nafas tersenggal-senggal.
"Sing... kenapa kau ke sini ?" Tanya Forth bingung.
"Aku meneleponnya P. Aku takut. Jadi ku telepon semua yang ada di kontak." Jawab Krist.
"Beam belum pulang dari sejak ia berbelanja." Forth mencoba menjelaskan pada Singto.
"Kita lapor polisi P'Forth." Kata Singto. Ia takut ayahnya akan berbuat macam-macam pada Beam.
"Sepertinya begitu, aku akan menelepon anak buahku untuk membantu mencari Beam." Kata Forth segera menelepon seseorang untuk meminta bantuan.
"Ayo P." Ajak Singto setelah Forth selesai dengan panggilannya.
"Kami ikut!" Kata Krist dan Wayo bareng.
"Kalian disini saja." Kata Singto. Ini bukan game permainan anak-anak.
"KAMI IKUT!!" Krist dan Wayo bersikeras.
"Kalian cuma merepotkan nanti." Kata Singto.
"Kau minta di gigit lagi !" Ancam Wayo. "Krist ambil wajanmu."
"STOP! STOP!" Teriak Forth. Ia sudah cemas, di tambah mereka mulai ribut. "Kalian berdua disini. Jika Beam pulang, kabari aku. Sing ikut aku."
Krist dan Wayo ingin sekali melempar wajan ke muka Singto yang memasang tampang sombong sok penting itu. Baru Forth dan Singto melangkahkan kaki, pintu kembali terbuka.
"Kalian mau kemana ?" Tanya Beam yang pulang membawa beberapa bungkusan besar.
"P'BEAM!!" Krist dan Wayo berlari memeluk Beam. Sementara Singto dan Forth menarik nafas lega.
"Ada apa ini ?" Tanya Beam bingung.
"Kita kira P'Beam hilang." Kata Krist yang mendapat dukungan anggukan kepala dari Wayo.
"Mereka khawatir kau pergi lama dan handphonemu tak bisa di hubungi." Jelas Forth yang lalu mencium kening Beam. Singto mengambil bungkusan-bungkusan besar hasil belanja Beam.
"Maaf, handphoneku batrenya habis." Beam memeluk dua bocah yang selama ini selalu membuat ia naik darah.
"Tak apa, yang penting P'Beam sudah pulang." Kata Wayo. Ia sudah menganggap Beam sebagai pengganti ayahnya. Walau ada perbedaan besar, ayahnya lembut tapi Beam galak. Namun mereka sama-sama peduli sama Wayo.
"Kalian berdua lepaskan aku!! Panas!! Masak sana!!" Perintah Beam.
"Roger bos!!" Krist dan Wayo segera berlari ke dapur menyiapkan makan malam.
"Sing.. kau menginaplah disini." Kata Beam.
"Tapi..."
"Sing, aku tak terima bantahan."
"Baiklah P'Beam."
***
Singto berlari menaiki tangga, ia tak peduli berapa banyak anak tangga yang ia lalui, baginya saat ini tiap detik itu sangat berharga sebelum...
BRAK... Singto membuka pintu dengan kasar. Dengan langkah gemetar ia maju selangkah demi selangkah dengan berhati-hati untuk mendekati seseorang di hadapannya. Rasa takut dan rasa bersalah menguasai hatinya saat ini.
"Jangan mendekat!!" Perintah orang di hadapannya mutlak.
"Tew.. jangan bertindak nekat. Kita... kita... bisa mencari solusinya... " Singto memohon. Matanya sudah memanas hingga menghasilan titik-titik air mata.
"Solusi ? Solusi apa Sing ? Ayah dan ibuku sudah tiada. Mereka dibunuh. Kau tahu DIBUNUH!! dan kau tahu dengan baik siapa pembunuhnya !!" Kata Tew sinis bercampur sedih.
"Maafkan aku Tew.. maafkan aku..."
"Aku tak sekuat itu Sing... hidupku hancur karena keluargamu" Tew menyeringai. "Nikmati rasa bersalahmu seumur hidup!!" Seketika itu itu menjatuhkan dirinya ke belakang dan terjun bebas.
"TEW!!!!"
Singto terbangun dari mimpi buruk yang selama ini menghantuinya. Tew, sahabat baiknya. Bunuh diri di hadapannya.
Keringat dingin mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya, Singto dengan tangan gemetar mencari-cari obat dan air putih. Namun tangannya itu tak sanggup untuk menahan beban hanya segelas air putih hingga gelas itu jatuh.
"OO SHIT!!" Geram Singto kesal. Terpaksa ia harus mengambil air dari dapur. Singto malas membersihkan pecahan gelas itu.
Singto berjalan ke dapur dengan langkah yang tak seimbang. Jiwanya kacau saat ini. Singto melihat Krist yang sedang membuka kulkas di dapur. Timbul pikiran jahat Singto, ia hanya ingin merasa damai. Dan Krist adalah jawaban satu-satunya.
Singto berjalan pelan dan membekap Krist dari belakang. Ia menarik paksa Krist menuju ke kamarnya dan mendorong Krist hingga jatuh di kasurnya.
Singto menerkam Krist sebelum Krist sempat memberontak, ia mencium wajah Krist dengan bertubi-tubi, menahan kedua tangan Krist yang ingin melepaskan diri.
Bibir Krist dikuasai penuh oleh Singto. Singto seakan tuli, ia tak mendengarkan permohonan atau renggekan Krist.
"Layani aku!!" Bisik Singto di telinga Krist. Rasa benci Krist naik ke permukaan. Gara-gara Suthiluck, ia mempunyai hutang. Dan sesungguhnya Singto tak berhak atas tubuhnya lagi.
Melihat ada kesempatan Krist menendang Singto jatuh dari tempat tidur dan sialnya Singto jatuh diatas pecahan gelas itu.
"ARGHH...." Singto meringis kesakitan, pecahan gelas itu menancap dalam di punggungnya. Awalnya Krist merasa ketakutan, ia tak bermaksud melukai Singto, ia hanya membela diri. Namun melihat Singto yang lemah, godaan iblis balas dendam mengusik hati Krist. Ia mengambil sebuah vas bunga dan memecahkannya, pecahan vas bunga yang besar ia tusukan kembali ke perut Singto.
"Mati kau Singto Suthiluck!!" Krist dengan mata membara menusuk lebih dalam lagi. Singto berteriak kesakitan namun sedetik kemudian ia mengangkat tangannya membelai pipi Krist dan tersenyum tulus.
"Terima kasih Krist. Mulai sekarang, berbahagialah...." Singto menutup mata dan terkulai di lantai.