Singto membawa semangkok bubur dan obat penurun panas untuk pagi hari. Singto tak pernah tahu kalau Krist bukanlah manusia pagi. Singto menaruh tray makanannya di atas nakas lalu memukul pelan lengan Krist yang masih saja tidur.
"BANGUN!!" Krist malah menarik selimut lebib tinggi hingga menutupi kepalanya.
"BANGUN PEMALAS!!" Krist masih tak bergeming. Singto mendekatkan kepalanya ke kepala Krist yang masih tertutup oleh selimut.
"Jika kau tak mau bangun, aku akan melakukan sesi pagi..." suara Singto yang teramat pelan namun masih bisa di dengar oleh Krist. Sontak Krist langsung bangun hingga kepalanya bertabrakan dengan kepala Singto.
"KRIST!!!" Teriak Singto yang memegangi kepalanya kesakitan.
"Maaf P..." cicit Krist yang membuat gerakan pijatan memutar di kepalanya agar rasa sakitnya memudar.
"Bangun lebih pagi!! Pemalas sekali kau. Kau kira aku pelayanmu HAH!! membawa sarapan pagi dan obat untukmu sedangkan kau asik tidur saja." Omel Singto yang menambah sakit kepala Krist.
"Maaf... " Krist tak bisa bilang apapun selain kata maaf. Disini Singto yang berkuasa.
"Mandi dan makan, setelah itu turun ke bawah. Aku ingin bicara." Pagi itu Krist melakukan apa yang di suruh oleh Singto.
***
Krist memakai baju kaos yang agak kebesaran karena ukuran tubuhnya lebih kecil dari tubuh Singto, begitu juga celana yang ia pakai. Krist dengan pelan-pelan menuruni tangga, sesekali ia menghirup nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan perjalanannya, karena bokongnya masih nyeri.
"Duduk!!" Perintah Singto setelah melihat Krist datang, Krist tersontak bangun saat bokongnya mengenai kursi. Kali ini Krist pelan-pelan menaruh bokongnya namun rasa sakit itu masih ada hingga tercetak jelas di raut wajah Krist.
"Masih sakit ?" Tanya Singto. Krist mengangguk pelan.
"Buka celanamu." Krist terkejut menatap Singto dengan takut. Ia tak mau ada sesi pagi.
"Buka cepat!!" Singto menarik celana Krist dengan tidak sabar. Krist menahan tangan Singto, ia akan membuka celana itu sendiri. Krist menurunkan celananya dengan perlahan-lahan. Singto menepuk meja mengisyaratkan untuk Krist duduk di atas meja. Krist dengan susah payah akhirnya ia duduk sesuai dengan perintah Singto.
"Lebarkan kakimu!!"
"P... jangan... Krist masih sakit..." kata Krist memohon.
"Aku tahu... Aku mau lihat seberapa parah bengkaknya." Kata Singto sambil mengambil sesuatu dari laci kecil.
"Benar ? P tak akan minta sesi pagi ?" Tanya Krist takut.
"Jika kau buka mulutmu untuk membantah sekali lagi, akan ku pastikan ada sesi pagi, siang, sore dan malam." Ancam Singto yang membuat wajah Krist pucat pasi. Krist menuruti perintah Singto tanpa banyak bertanya lagi.
Singto melihat ada kemerahan di sekeliling anus Krist. Ia mengoleskan salep dingin untuk mengobati bengkak di daerah itu. Setelah selesai Singto menyuruh Krist turun dan memakai celananya kembali.
"P... mau bicara apa ?" Tanya Krist setelah sesi pengobatan selesai.
"Kau tinggal dimana ?" Tanya Singto sambil meminum kopi pahitnya.
"Di jalan X." Selama ini Krist tinggal sendiri, rumah yang Krist sewa sangat kecil ukuran studio. Yang cukup untuk kasur dan kompor saja. Singto mengangguk setelah mendengar jawaban Krist.
"Ada barang berharga disana ?" Tanya Singto sekali lagi. Krist mengeleng.
"Benar ?"
"Aku tak punya emas atau barang mewah." Kata Krist pelan, ia tak malu berkata demikian karena memang begitulah keadaannya sekarang.