Makan pagi yang biasanya ramai menjadi ajang arena adu tatapan mata. Krist dan Wayo menatap Singto dengan tatapan tajam dan begitu juga sebaliknya.
"Sepertinya aku tak mengadakan kontes menatap." Tegur Beam pada 3 orang itu.
"P'Beam kenapa dia ada disini ?" Protes Krist.
"Benar. Kami tak terima." Kata Wayo mendukung aksi protes Krist.
"Memangnya kenapa ? Singto adikku. Dan ini rumahku. Siapa pun boleh tinggal asal aku ijinkan." Jawab Beam santai menanggapi protes dari Krist.
"Pantas saja sama-sama galak." Kata Krist yang dapat hadiah pukulan dari centong nasi Beam.
"Berisik, makan sarapanmu." Kata Beam. Krist mengerucutkan bibirnya. Dalam hati ia berjanji akan menyiksa Singto begitu ada kesempatan.
"Sing... apa kau akan tinggal disini ?" Tanya Beam. Singto mengeleng.
"JANGAN P" Teriak Krist dan Wayo bersamaan, pukulan centong nasi pun kembali mengudara. Forth tertawa terbahak-bahak melihat tingkah mereka dan Singto hanya bisa menatap mereka dengan perasaan bersalah.
"Ada yang harus aku kerjakan P."
"Berbagilah dengan kami. Jangan semua kau tanggung sendiri." Kata Forth memberikan nasihat.
"Aku tak ingin menyusahkan kalian lebih dari ini." Kata Singto pelan. Krist dan Wayo hanya diam menonton. Jika ada salah satu dari mereka bersuara maka Beam akan melempar benda yang ada di dekatnya ke arah mereka.
"Hei.. kau adikku. Dan aku tak merasa susah. Tak ada yang lebih menyusahkan daripada menjaga dua bocah ini." Wayo dan Krist cemberut mendengar perkataan Beam. Singto tertawa kecil.
"Maaf P'Beam." Canda Singto.
"Tak apa. Bukan Beam namanya jika takluk sama dua bocah ini." Beam memang orang yang pas untuk menjaga mereka berdua. "Sing.. ikut aku ke dokter."
"P'Beam..."
"Aku tak terima bantahan. Kau sudah terlalu sering bolos terapi."
"Baiklah." Kata Singto menyerah.
Dokter ? Terapi ? Krist dan Wayo saling berpandangan bingung.
***
Krist dan Wayo memutuskan untuk bertanya pada Forth setelah Beam dan Singto pergi.
"Benar P'Beam kakaknya P'Singto ?" Tanya Krist penasaran.
"Benar, kakak angkat." Jawab Forth merasa lucu dengab mimik wajah terkejut dua bocah di hadapannya.
"Kakak angkat ?" Tanya Wayo memastikan.
"Dulu Beam pernah di tolong oleh Singto. Sejak itu Beam berjanji akan melindungi Singto. Ya.. secara tak langsung Beam menganggap Singto sebagai adiknya." Krist dan Wayo menganggukan kepala tanda mereka paham maksud Forth.
"Apa kalian masih membenci Singto ?" Tanya Forth.
"Tentu saja. Ia menghancurkan ayahku." Kata Krist masih mempunyai dendam pada Singto, begitu juga dengan Wayo.
Forth menarik nafas panjang, ia merasa perlu menceritakan masa lalu Singto agar Wayo dan Krist mengetahui bahwa Singto bukan orang kejam yang seperti mereka pikirkan.
"Dulu kalian bahagia bukan ? Mempunyai keluarga yang hangat dan mencintai kalian." Krist dan Wayo mengangguk. " Singto tak mempunyai semua itu. Kebahagiaanya terenggut saat ibunya meninggal, sejak kecil ayahnya jarang memperhatikan Singto. Hanya menyuruh Singto untuk belajar dan belajar menjadi yang terbaik. Kebahagiaan Singto pudar sepenuhnya saat melihat teman baiknya bunuh diri karena ayahnya melakukan hal yang sama seperti pada kalian."
"Maksudnya ada korban lain selain kami ?" Tanya Wayo.
"Ada, dan itu korban pertama. Teman baiknya membenci Singto karena ia anak dari Suthiluck meskipun saat itu Singto tak tahu apa yang ayahnya perbuat. Singto melihat teman baiknya melompat dari gedung sekolah setelah menuliskan kata 'AKU MEMBENCIMU SINGTO SUTHILUCK' di dinding dengan darah." Mata Forth menjadi sedih mengingat kejadian itu.
"Singto mengalami depresi, beberapa kali ia mencoba bunuh diri namun dapat di selamatkan oleh ibu tirinya dan Beam. Kami memaksa agar ia menjalani terapi untuk mencegah rasa depresi itu semakin dalam. Apa kalian tahu kenapa kalian di titipan kemari ?" Krist dan Wayo mengeleng.
"Untuk menjaga kalian agar tetap aman. Diluar sana bukan hanya Mr. Suthiluck yang ingin mencelakakan kalian tapi juga ada orang lain. Krist, Singto sengaja membelimu dari situs itu dan membayar uang pengobatan ibumu serta memindahkannya ke rumah sakit yang aman tanpa campur tangan ayahnya. Yo, Singto menitipkanmu pada kami agar kau selamat. Dan tak terlunta-lunta di jalan karena ia tahu kau tak bisa hidup susah, sejak kecil ayahmu selalu menuruti apa yang kau inginkan. Saat ini Singto sedang berjuang melawan ayahnya demi kalian. Aku hanya ingin menceritakan hal yang sebenarnya, selebihnya biar kalian yang memikirkan tindakan kalian selanjutnya." Kata Forth yang mengusap kepala mereka lalu beranjak pergi namun tak lama berhenti.
"Kuharap, kalian jangan bilang sama Beam kalau aku menceritakan ini semua ke kalian. Beam bisa membunuhku jika ia tahu."
"Boleh, asal ada sogokannya." Kata Wayo menjulurkan tangannya dan mendapatkan hadiah cubitan di pipi gembulnya itu.
Krist dan Wayo terpaksa mengangguk setuju dan membuat gerakan mengunci mulut. Forth tersenyum lalu pergi.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang Krist ?" Tanya Wayo kebingungan. Di satu sisi ia mengerti kondisi Singto tapi di sisi lain masih ada rasa benci karena ayahnya masuk penjara gara-gara ayah Singto.
"Aku... aku tak tahu Yo." Krist merasakan kegundahkan yang sama dengan Wayo.
"Jadi, bagaimana ini ?"
"Kita pikirkan bersama malam ini Yo."
Malam itu kedua bocah berdiskusi cukup lama mengenai apa yang harus mereka lakukan nanti.
***
Phana berlari menuju ke apartemen Singto. Mengetuk pintunya dengan keras. Singto membuka pintu dan melihat wajah Phana yang panik.
Phana memberikan koran yang memuat berita bahwa Nam Panitchayasawad bunuh diri di sel penjara.
"Oo.Shit!! Kita terlambat!" Singto memukul pintunya kesal.
"Jadi apa yang harus kita lakukan ?" Tanya Phana berbisik.
"Kita cari tahu tempat penyimpanan file itu." Balas Singto berbisik. Phana mengangguk mengerti lalu meneruskan actingnya.
"Filmnya sudah di mulai Singto, dan kau belum siap-siap." Kata Phana beracting kesal.
"Maaf sayang, aku beneran lupa. Masuk lah kita cari kegiatan lain."
Dan tirai sandiwara telah di buka.