Pertemuan Pertama

5.4K 137 0
                                    

Lihatlah luka ini yang sakitnya abadi yang terbalut hangatnya bekas pelukmu aku tak akan lupa tak akan pernah bisa tentang apa yang harus memisahkan kita saat kutertatih tanpa kau disini tak mudah kunanti demi keyakinan ini
Jika memang kau terlahir hanya untukku bawalah hatiku dan lekas kembali kunikmati rindu yang datang membunuhku untukmu seluruh nafas ini

Langkah sepasang kaki mungil yang berlari itu berhenti, saat lagu yang dipopulerkan Virgoun last child itu menggema saat ia melewati cafe yang ada diseberang jalan tempat kakinya menapak saat ini. Lagu ini seolah mewakili sakit hatinya mengingat Arsa.

Untuk sesaat, gadis yang memakai pakaian amat sederhana itu hanya memandang lalu lalang kendaraan didepannya tanpa berniat untuk bergerak sedikitpun. Kemudian yang terdengar hanya isakan tertahan saat kepingan kenangan bersama Arsa terekam bagai kaset rusak diotaknya.

Setengah jam lalu, Ariani Melodia masih bisa tersenyum disaat banyaknya penderitaan yang menerpanya. itu semua karena adanya Arsa Permana, kekasih yang sudah 3 tahun ini menemaninya. Sosok yang akan selalu menghiburnya, dan tak ayal memberi bantuan meski ia selalu saja tak mau merepotkan kekasihnya itu.

Tapi sekarang sosok itu mendadak berubah dalam hitungan detik, saat dimana ia mendapati kekasihnya dalam kondisi tanpa sehelai benangpun tengah memeluk seorang wanita diapartemennya. Saat itu dunia seolah berhenti, dan yang bisa dilakukannya hanya mematung sampai tak sadar jika pria yang ia sayangi itu sudah berdiri didepannya sambil menggumamkan kata maaf berkali-kali. Saat tangan besar Arsa memegang tangannya, ia menggeleng kemudian menepisnya dengan kasar.

"Kenapa ? Kenapa kamu tega." Ucapnya seolah tercekat oleh rasa sakit dihatinya. memukul-mukul dada pria yang hanya bisa memejamkan mata menyesali perbuatannya.

"Maafkan aku, aku....."

Tanpa mau mendengar penjelasan dari sang kekasih, gadis itu kemudian meninggalkan tempat itu dengan hati teramat hancur.

Hingga kemudian suara dentuman keras mengalihkan lamunannya dari penghianatan sang kekasih, kemudian mengarah pada objek didepannya. Sebuah mobil hitam yang melintas dengan begitu cepat setelah menabrak sebuah mobil yang kini sudah tak berbentuk lagi. Riani melebarkan matanya saat tersadar dari apa yang barusan dilihatnya. Dengan kaki gemetar, gadis miskin bertubuh mungil itu menguatkan kakinya yang terasa sangat berat menuju mobil merah yang setengah menit lalu menghantam pembatas jalan.

Wajah Riani pucat pasi kala dirinya sudah berada disamping mobil itu. Seorang wanita paruh baya yang berada dibalik kemudi sudah tak sadarkan diri dengan darah segar mengalir dibagian kepala. Mengikuti naluri, sambil menekan rasa takutnya gadis itu kemudian susah payah mengeluarkan sang wanita paruh baya dari dalam mobil.

Saat kepala yang bersimbah darah itu sudah berada diatas pangkuannya, kelopak mata yang semula terpejam itu terbuka, membuat Riani yang sedang merogoh hpnya guna menelpon seseorang yang bisa ia mintai pertolongan tertunda.

"Ibu nggak papa?." Ucapnya menatap penuh khawatir sosok asing yang kini menatapnya dengan pandangan sayu.

"To...long saya."

Riani yang merasakan ketakutan teramat sangat hanya bisa berteriak meminta pertolongan, sambil sesekali menepuk pipi pucat yang sekarang sudah tak sadarkan diri itu.

****

Hentakan bunyi sepatu yang berlari menggema dikoridor rumah sakit yang mulai sepi. Seorang pria muda yang masih menyampirkan tas rangsel dibahunya tak dapat menyembunyikan aura kecemasan dalam dirinya. Elang Perwira, baru saja mendapat telfon dari pihak rumah sakit kalau ibu tercinta baru saja mengalami kecelakaan.

Setelah bertanya kepada suster, Elang pun tiba di depan ruangan operasi. Bertepatan dengan keluarnya Dokter dari ruangan yang diyakininya terdapat ibunya didalam sana melawan kematian.

"Bagaimana keadaan mama saya Dokter?." Ucapnya dengan nada bergetar. Mewakili perasaan takut akan kehilangan sosok penguat dalam hidupnya.

Dokter bertubuh gempal itu terlebih dulu melepaskan masker dari wajahnya kemudian menatap pria muda didepannya. "Ibu anda mengalami benturan yang cukup serius dibagian kepala. Kami sudah melakukan operasi terhadap beliau, tapi beliau dalam masa kritis." Elang menahan nafas mendengar penuturan sang dokter. Kakinya terasa lemas membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Bagaimana ia akan melewati hidup jika seandainya ibunya pergi? Dengan sekuat tenaga ia menepis pikiran terburuknya itu.

"Berterimakasihlah pada nona yang disana." Ucap Dokter menunjuk seorang gadis yang duduk diruang tunggu dengan posisi menunduk. Seolah mengerti dengan kebingungan pria didepannya, Dokter pun menepuk bahu Elang sembari berujar " Dia yang membawa ibu anda kesini."

Elang mengangguk, setelah dokter berlalu ia menghampiri sang gadis yang masih asik menunduk dengan terus milin tangannya.

"Ehem." Deheman Elang berhasil me mbuat gadis itu mendongak. Dan saat itu pula Elang dihadiahi sepasang mata bulat dengan raut kelelahan.

"Lo yang udah nolongin nyokab gue?."

Alis gadis itu bertaut, kemudian pandangan Elang mengarah pada ruang operasi membuat gadis yang semula kebingungan itu mengerti. "Iya mas, saya kebetulan ada di tempat kejadian." Suara bernada lembut itu membuat Elang mengangguk.

Hingga kemudian tangannya merogoh saku celana berisi dompet kulit dan mengeluarkan beberapa uang ratusan ribu dari dalamnya.

"Ini sebagai tanda terimakasih gue atas pertolongan lo." Elang menyodorkan uang itu kehadapan gadis didepannya. Gadis itu kemudian berdiri, menyunggingkan senyum dan berkata "Maaf. Saya menolong ibu anda dengan ikhlas." Ucapnya membuat Elang menatap tak percaya.

Sombong sekali gadis ini

Sekilas Elang sempat menilai penampilan gadis mungil yang hanya sebatas bahu nya itu. Rambut diikat asal, baju kaos dengan warna luntur dan juga rok kain panjang dibawah lutut. Kenapa dojaman yang sudah modern ini masih ada gadis yang berpenampilan se sederhana ini?

"Maaf mas, saya harus pulang. Semoga ibu anda cepat sembuh." Ucap gadis itu kemudian berlalu meninggalkan Elang yang hanya diam sembari menatap punggung yang entah kenapa terlihat begitu rapuh itu.

Bukan Salah TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang