Waktu berlalu sebagaimana mestinya, tak ada yang berubah dari pernikahan Ariani dan juga Elang. Keduanya masih terasa asing, bahkan keduanya hanya berinteraksi jika ada hal penting saja. Kadang, Ariani berfikir akan dibawa kemana alur pernikahannya nanti? Tak pelak, gadis yang sekarang resmi menyandang status istri itu kerap menangis dalam diam lewat sholat malamnya ketika mengadu kepada sang pencipta.
Ia merasa sudah mengabaikan wasiat dari almarhuma ibu Elang. Beliau sempat berkata kalau seiring berjalannya waktu, mereka akan saling mencintai. Tapi, sekarang bahkan sudah satu bulan usia pernikahan mereka dan semua masih sama.
Sherin, pacar Elang pun kerap kali datang kesini tapi Ariani tak bisa berbuat apa-apa. Ariani kemudian melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam, ada yang aneh disini. Kenapa Elang belum turun untuk makan? Padahal biasanya pria itu selalu makan dirumah dan tak pernah selarut ini mengabaikan makan malamnya. Meskipun hanya dentingan sendok yang mengisi kebisuan antara mereka di meja makan.
Menghela nafas pelan, Ariani memberanikan diri menaiki tangga menuju kamar Elang.
Tok tok tok
Tak ada jawaban, bahkan pintu kamar berwarna coklat itu serasa tak berpenghuni. Padahal Ariani jelas melihat, Elang masih diatas sebelum ia shalat isya tadi.
"Mas Elang." Gumam Ariani pelan.
Hening
Ariani memberanikan diri memutar knop pintu itu. Entah kebetulan atau tidak, pintu itu tak terkunci.
Gelap menyapa saat Ariani menginjakkan kaki dikamar pria yang berstatus suaminya itu. Aroma maskulin lansung menguar menelusup ke indra penciuman Ariani. Aroma menenangkan perpaduan citrus dan juga mint.
Ini pertama kalinya Ariani masuk ke kamar yang luas ini. Sambil meraba-raba sekitar, Ariani kemudian menghidupkan lampu. Alangkah terkejutnya ia melihat Elang yang sedang meringkuk diatas ranjang.
Pelan namun pasti, Ariani sudah berdiri disamping pria yang memejamkan matanya itu. Tidak, tidak ada raut kedamaian dalam tidur pria ini. Sesekali mulutnya bergumam dengan kening yang mengernyit. Irama nafasnya pun tak beraturan, entah dorongan darimana Ariani sudah menempelkan punggung tangannya dikening laki-laki yang sering menatapnya datar itu.
Sontak saja Ariani lansung memekik kala merasakan suhu badan Elang begitu tinggi. Pantas saja ia tak turun untuk makan malam.
Elang itu anaknya manja, paling dekat sama mamanya. Jadi kamu harus bisa menjaga dia
Ariani kembali mengingat petuah dari om Wijaya. Setelah 15 menit, Ariani kembali dengan mangkuk kecil berisi potongan es batu dan sebuah handuk.
Dengan telaten, ia menempelkan handuk kecil berisi potongan es batu itu ke kening Elang. Berulang-ulang, hingga panas nya mulai turun. Jam bahkan sudah menunjukkan pukul 2 dini hari dan ia masih terjaga. Tapi sebagai manusia yang butuh tidur, Ariani akhirnya memejamkan mata dengan menyandarkan kepala disamping ranjang Elang.
Seberkas sinar matahari mulai muncul ke permukaan. Melalui celah tirai jendela membuat Elang terusik dari tidurnya. Perlahan namun pasti, mata yang semula terpejam itu terbuka. Dan saat retinanya menangkap sosok Ariani yang tertidur disampingnya dengan posisi duduk, Elang terkejut bukan main.
Apa yang terjadi?
Namun handuk kecil yang bertengger dikeningnya dan juga selimut yang tersampir apik ditubuhnya menjadi bukti mutlak, kalau Ariani semalaman ini merawatnya.
Apa gue sakit?
Sejenak, Elang tak bergeming dari posisinya. Ia justru menatap wajah Ariani yang terlihat damai dalam tidurnya. Selama menikah, Elang baru kali ini memperhatikan wajah gadis yang sudah sah menjadi istrinya itu. Ariani memiliki alis tebal dan juga bulu matanya lentik. Hidungnya bangir dan juga bibirnya tipis.
Tanpa sadar, Elang hendak menyentuh bibir yang selalu saja membentuk lengkungan indah saat menyapanya itu. Tapi Ariani buru-buru terbangun membuat tangan Elang mengambang diudara.
Ariani yang menyadari Elang sudah terbangun segera saja berdiri. Ia takut jika Elang mengatainya lancang karena sudah tidur dikamar ini.
"Maaf, saya masuk kekamar mas Elang tanpa izin." Ucapnya membuat Elang menatap gadis ini tak percaya. Daripada marah, Elang mungkin lebih baik berterimakasih karena gadis ini sudah merawatnya. Tapi kenapa ekspresi Ariani seolah takut?
"Mas tunggu disini." Setelah mengatakan itu Ariani melesat pergi membuat Elang menarik senyum tipis melihat tingkah absurd gadis itu.
30 menit kemudian
Ariani memasuki kamar Elang dengan nampan ditangannya. Ia kemudian duduk dibangku samping kamar Elang.
"Sebaiknya mas makan dulu." Ucapnya menyodorkan mangkuk kecil berisi bubur kearah Elang yang sudah berubah posisi menjadi duduk.
"Suapin."
Apa Ariani salah dengar? Apa barusan Elang menyuruhnya menyuapinya?
"Kepala gue masih pusing. Lo nggak mau nyuapin gue?."
Ariani tersentak, kemudian mengambil sendok yang berisi bubur dan mengarahkannya ke mulut Elang. Benar kata almarhuma ibu mertuanya, Elang itu manja apalagi ketika sedang sakit begini.
Setelah menyelimuti Elang, Ariani hendak keluar. Tapi genggaman erat ditangannya membuatnya berbalik. Serasa ada sengatan listrik ketika tangan besar Elang menyentuhnya.
"Lo mau kemana?."
"Saya mau..."
"Temenin gue sampai gue tidur."
Tak ada yang bisa dilakukan Ariani selain mengangguk. Tangannya menepuk pelan lengan Elang persis seperti seorang ibu yang menidurkan anaknya. Lambat laun Elang akhirnya tertidur, terjun bebas kealam mimpi dengan Ariani yang setia menemaninya.
"Selamat tidur mas Elang, semoga cepat sembuh." Ucap Ariani kemudian melangkah keluar dari kamar.
****
Setelah merasa kondisi tubuhnya membaik, Elang memutuskan untuk turun kebawah karena Andreas menelfonnya dan mengatakan jika ia sudah dirumah Elang. Dan benar saja, saat Elang berada diujung anak tangga, sahabatnya itu sudah duduk diruang tamu. "Hy Lang." Sapanya.
"Mau ngapain lo kesini?."
Andreas mendengus, mendapati mulut pedas Elang yang sama sekali tak berubah itu. Andreas sendiri heran, kalau ia jadi Ariani sudah sedari awal ia mengundurkan diri menjadi pembantunya Elang.
"Nggak ada kosakata lain yah Lang selain itu? Sakit banget tahu nggak Lang. Nyesek." Ucap Andreas berlagak memukul-mukul dadanya.
"Najis gue liat lo kek gitu." Tandas Elang ikut mendudukkan diri di sofa berhadapan dengan sahabatnya itu. Tak lama, obrolan medeka terhenti karena kedatangan Ariani dengan nampan berisi cemilan dan minuman.
Sontak saja mata Andreas lansung berbinar. "Makasih yah Ariani." Ucap Andreas ketika Ariani sudah selesai menyajikan itu diatas meja. Tak lupa dengan senyum teramat lebar yang terkesan dipaksakan. Sungguh, Elang benar-benar muak melihatnya.
"Sama-sama mas." Seperti biasa, Ariani melempar senyum ramah.
"Btw, nanti malam kamu ada acara nggak?." Elang yang mendengar itu memutar bola mata jengah, dia fikir Andreas hanya bercanda menyukai Ariani. Tapi sepertinya sahabatnya itu serius dengan ucapannya. Bahkan nada lo-gue saja sudah berganti menjadi aku-kamu ke Ariani.
Ariani yang ditanya seperti itu oleh sahabat dari Elang ini sontak menggeleng. "Nggak ada mas. Saya senengnya dirumah."
"Boleh nggak kalau sebentar malam aku ngajakin kamu jalan?."
"Nggak boleh."
Sontak saja Ariani maupun Andreas menatap Elang dengan ekpresi terkejut. Elang salah tingkah. "Maksud gue.... pulangnya jangan kemaleman." Kelakarnya membuat Andreas seolah mendapat angin segar.
Tak ada yang tahu jika Ariani merasakan kekecewaan. Dia fikir, Elang akan melarangnya bersama Andreas. Tapi sepertinya, Elang memang tak menganggapnya siapa-siapa.
"Kamu mau kan Ariani?."
"Iya mas, saya nggak masalah."
Elang yang mendengar itu melebarkan matanya. Dia pikir, Ariani akan menolak ajakan Andreas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Takdir
Teen FictionAriani Melodia, gadis cantik nan sederhana yang baru saja dihianati sang kekasih dihadapkan dengan pilihan sulit, kala wanita paruh baya yang ia tolong dalam kecelakaan memintanya untuk menikahi putra semata wayangnya sebelum ia meninggal. Lantas ap...