Untuk pertama kalinya seorang Wijaya Handi Perwira, merasakan kekecewaan kepada sosok keponakan yang hanya bisa menunduk di sofa seberang sana. Satu tamparan telak menjadi bukti pengutaraan rasa terkejutnya.Wijaya yang sedang sibuk menandatangani beberapa berkas di kantor, tentu saja kaget melihat kedatangan Ariani diruangannya. Bagai petir disiang bolong ketika Ariani mengatakan ingin menyudahi pernikahannya dengan Elang.
Dan untuk menjawab keingintahuannya mengenai biduk rumah tangga keponakannya, Wijaya menyuruh Elang datang ke rumahnya menuntut penjelasan atas keinginan Ariani untuk bercerai. Pasalnya, gadis yang berstatus istri dari Elang itu tak mengatakan alasan apa sehingga dia memutuskan ingin berpisah.
Sekian menit mereka hanya saling diam. Elang yang sudah tahu ada gerangan apa om Wijaya menyuruhnya datang, hanya bisa menundukkan kepala, tak berani menatap ketiga pasang mata dari satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini.
Apalagi kepada sosok pria paruh baya yang dianggap panutan dikeluarga Perwira itu. Sumpah mati, Elang merasa sudah mengecewakan semua anggota keluarganya. Sedangkan Laras dan Radit, yang tak mengerti apa-apa hanya bisa saling menatap bergantian. Menerka-nerka apa gerangan masalahnya sehingga papanya menampar Elang yang secara spontan membuat Laras tadi memekik kaget.
Tapi melihat Wijaya, sosok papa yang mengangkat satu tangan ke udara, Laras yang hendak mengucapkan protes memilh diam, mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia tahu betul, kalau sudah seperti itu, papanya pasti sedang marah besar.
"Om kecewa sama kamu Lang. Sungguh, bahkan ibumu yang sudah tenang dialam sana pun pasti sedang menangis melihat kebodohanmu itu." Suara bariton Wijaya pun berhasil memecah kebisuan yang tercipta.
Elang mendongak, menatap pria paruh baya diseberang sana dengan raut bersalah. "Maafkan Elang om. Elang sudah menghancurkan rumah tangga Elang sendiri."
"Sebenarnya ada masalah apa ini?." Laras pun menyuarakan ketidaktahuannya.
"Ariani datang kekantor papa. Dia mengatakan ingin bercerai dengan Elang." Wijaya bersuara, menjawab keingin tahuan Laras dan Radit. Sontak saja pasangan suami istri itu terkejut, kemudian menatap Elang dengan sorot penuh tanda tanya.
"Bisa, kamu jelaskan ini semua Elang?." Radit angkat bicara.
Elang mengangguk samar, kemudian mulai menceritakan kronologis perihal alasan Ariani menuntut cerai darinya. Bahkan tak ada satupun yang dilewatkannya, termasuk ketika Ariani menyuruhnya menikahi Sherin yang sedang mengandung.
"Kamu bodoh sudah menyia-nyiakan istri sebaik Ariani. Om tak habis pikir, dimana kamu simpan otakmu itu?." Wijaya kembali bersuara. Membuat Elang semakin dirundung penyesalan.
"Maafin Elang om."
"Jangan meminta maaf kepada om. Minta maaflah pada istri kamu. Dia yang paling tersakiti disini."
Usai mengatakan itu Wijaya beranjak dari duduknya. Memilih pergi untuk menenangkan gejolak emosi yang bisa saja membuat penyakit jantungnya kambuh.
"Elang kamu lihat kakak. Apa kamu mencintai Ariani?." Laras bertanya.
Tanpa berpikir panjang, Elang mengangguk. Meyakini jika hatinya memang telah dimiliki sepenuhnya oleh gadis yang sudah dinikahimya itu.
"Apa kamu merasa kalau anak yang dikandung Sherin adalah anak kamu?." Radit menatap Elang. Sebagai sesama pria ia tahu benar, jika Elang tidaklah sebejat itu.
"Nggak kak. Elang merasa nggak pernah meniduri Sherin. Hanya saja hari itu ketika Elang terbangun tahu-tahu sudah ada Sherin yang menangis disamping Elang. Aku juga nggak ngira, kenapa aku bisa di kamar hotel dalam keadaan tak memakai baju."
Elang menceritakan kejadiannya, dimana saat ia menemani Sherin minum jus jeruk, dan malah berakhir didalam selimut yang sama dengan gadis itu.
Laras menghela nafas lega. Ia tahu benar bagaimana tabiat sepupunya itu. Meski Elang berwatak dingin, tapi Laras percaya jika Elang adalah sosok yang bertanggung jawab.
****
Sepasang kaki mungil itu melangkah gontai menuju tempat pemakaman. Sesampainya didepan batu nisan itu, Ariani bersimpuh kemudian mencium batu nisan almarhumah ibu mertuanya. Sungguh, Ariani merasa bersalah mengambil keputusan ini. Tapi Ariani tak boleh egois.
"Bu." Lirihnya sambil mengusap gundukan tanah yang masih basah karena air hujan.
"Maafkan saya. Saya merasa sudah melanggar janji saya kepada ibu untuk menjaga mas Elang."
Hanya ada suara kicauan burung dan rintik hujan yang menemani. Isakan nya semakin terdengar keras. Menyuarakan ketidak mampuannya melewati biduk rumah tangganya yang sudah diujung tanduk.
"Sekali lagi saya minta maaf. Saya tahu, ibu disana pasti menyayangkan keputusan saya." Ariani mendongak, mencegah agar air matanyabtak kembali turun. Kemudian melanjutkan " Ibu benar, seiring berjalannya waktu, Ariani mulai mencintai mas Elang." Gadis itu tertawa hambar, kembali merasakan patah hati untuk kedua kalinya.
Jika masalahnya sudah sepelik ini, tak ada yang bisa dilakukan Ariani selain berdoa kepada sang kuasa. Berharap jika suatu saat nanti, kebahagiaan akan datang menyapa setelah penderitaan yang dialaminya selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Takdir
Teen FictionAriani Melodia, gadis cantik nan sederhana yang baru saja dihianati sang kekasih dihadapkan dengan pilihan sulit, kala wanita paruh baya yang ia tolong dalam kecelakaan memintanya untuk menikahi putra semata wayangnya sebelum ia meninggal. Lantas ap...