Ariani menatap langit-langit kamarnya. Perkataan Andreas terngiang-ngiang di benaknya.Kamu suka sama Elang?
Bohong kalau Ariani mengatakan tak menyukai Elang, tinggal seatap dengan pria dingin namun manja itu membuat nya perlahan menyayangi Elang. Entah, Ariani bahkan tak yakin dengan perasaannya. Tapi satu hal yang pasti, Ariani merasa tak suka jika Elang selalu bersama Sherin.
Apa itu bisa dikategorikan cinta?
"Ariani, lo udah tidur?." Suara teriakan didepan pintu kamarnya sontak membuat lamunan Ariani buyar. Membuka pintu, lansung saja matanya bersitatap dengan sepasang mata tajam milik Elang yang seolah menembus ulu hatinya.
"Ini buat lo." Elang menyerahkan bungkusan ditangannya.
"Ini apa yah mas?."
Elang tersenyum, membuat jantung Ariani mendadak berdetak lebih cepat dari biasanya. Selama menikah, baru kali ini pria tampan didepannya ini tersenyum padanya.
"Hadiah, karena lo udah ngerawat gue kemarin."
Dengan kaku, Ariani menerima paper bag itu. Menerka-nerka apa gerangan yang Elang berikan untuknya.
"Makasih ya mas." Elang mengangguk, kemudian hendak berlalu ke kamarnya.
"Mas Elang."
Ada perasaan lain menggrogoti hati Elang kala suara lembut itu mengalun indah memanggil namanya. Ia kemudian berbalik, menatap manik mata Ariani yang menatapnya teduh.
"Mas sudah sembuh?." Nada kekhawatiran itu dibarengi dengan punggung tangan Ariani yang sudah menempel dikening Elang. Membuat si pemilik kening itu memejamkan mata merasakan sentuhan lembut tangan Ariani di tubuhnya.Tersadar, Ariani buru-buru menurunkan tangannya. Entah keberanian darimana ia berani menyentuh Elang seperti itu.
"Gue udah sembuh. Dan ini berkat lo."
****
Ariani menatap seorang wanita cantik dengan bayi mungil di gendongannya. Senyum lebar adalah hal pertama yang Ariani dapati ketika membuka pintu rumahnya. Ariani merasa tak pernah mengenal sosok wanita dewasa nan cantik didepannya ini. Apa mungkin kerabatnya Elang? Tapi, sewaktu ibunya Elang meninggal, Ariani tak pernah melihat sosok ini.
"Kamu istrinya Elang yah?." Ariani sedikit merasa aneh dengan kata istri. Dia sadar betul, dirinya saat ini sudah menjadi istri dari Elang. Dengan kikuk Ariani mengiyakan.
"Kenalin, saya Laras. Sepupunya Elang." Wanita itu menyodorkan tangannya melempar senyum persahabatan kearah Ariani yang masih terlihat kebingungan. "Oh, maaf mbak saya sama sekali nggak tahu. Saya Ariani mbak." Ariani sedikit berjengit samar. Merasa tak enak tak mengenali sosok sepupu dari Elang.
"Silahkan masuk mbak."
Ariani mempersilahkan wanita itu memasuki rumahnya.
"Kak Laras!." Teriak Elang dari lantai atas mendapati sepupu tercintanya bertandang kerumahnya. Sontak saja wanita yang bernama Laras itu segera memeluk Elang, meski pelukannya tidaklah erat mengingat adanya sosok bayi mungil di gendongannya.
"Kak Laras kapan datangnya?." Elang merangkul wanita bernama Laras itu menuju sofa. Terlihat sekali keakraban diantara keduanya. Elang bahkan tak segan mengambil alih sosok bayi yang mengemut tangan kecil kedalam mulutnya itu ke pangkuannya. Melihat itu, Ariani yang tengah membuat minuman di kabinet dapur merasakan hatinya bergetar. Apa mungkin jika suatu saat nanti dia berharap bisa mempunyai sosok bayi dari pernikahannya dengan Elang?
Jangan bermimpi Ariani, kalian bahkan pisah kamar
"Kemarin. Maaf yah Lang. Kakak nggak bisa pulang waktu dengar mama kamu meninggal. Mas Radit ada rapat penting dihari itu." Ada sorot bersalah dari pancaran mata wanita yang kini sudah menepuk pelan bahu Elang.
Elang tersenyum mengerti, dengan usilnya tangannya menoel pipi chubby bayi lucu diatas pangkuannya. "Nggak papa kak, aku ngerti kok. Kak Radit kok nggak ikut kesini?."
"Mas Radit masih di Paris. Mungkin besok dia baru bisa nyusul kesini."
Ariani meletakkan nampan berisi minuman dan cemilan diatas meja, kemudian hendak pergi. "Jangan pergi lah Ariani. Kakak mau ngobrol sebentar sama kamu." Spontan Ariani berbalik, dan dengan kaku ikut berganung bersama mereka.
"Bagaimana pernikahan kalian?." Kali ini wanita yang berstatus kakak sepupu dari Elang itu menatap Ariani yang merasa kaget dengan pertanyaan itu.
"Ya bahagia lah kak." Bukan Ariani yang menjawab, melainkan Elang. Pria itu tahu, jika Ariani tidaklah pandai berbohong. Ariani tertawa miris dalam hati.
Apa pernikahan yang jalannya seperti ini bisa dikategorikan bahagia mas Elang?
"Syukurlah. Kakak ikut bahagia dengerinnya. Jadi kapan kalian akan ngasih anak kakak seorang adik?."
Sumpah mati Ariani ingin menghilang detik ini juga. Biarlah ia terdampar di negeri para alien agar tak mendapati pertanyaan yang seketika membuatnya menegang kaku itu. Sementara Elang yang duduk disamping Laras terlihat biasa saja, bahkan dia masih bisa tersenyum setenang air telaga.
"Ariani, kok kamu diam sih?."
Tersadar dari lamunan, Ariani mencoba memberi jawaban yang menurutnya pas. "Doain aja yah kak. Semua tergantung yang diatas."
Jawaban spontan yang diberikannya itu begitu tenang. Membuat senyum diwajah Laras semakin lebar. Benar kata Wijaya, papanya. Elang beruntung memiliki istri selembut Ariani. Dalam hati Laras menghela nafas lega, adik sepupu nakalnya tak salah pilih, meskipun mereka menikah karena terpaksa. Wijaya sudah menceritakan semua itu padanya.
Elang yang mendengar jawaban Ariani itu kemudian menatap sosok bayi mungil yang kini tengah tertidur di pangkuannya itu. Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak kalau dia dan Ariani tak saling mencintai? Apa masuk akal kalau ia dan Ariani memiliki seorang bayi lucu seperti anak kakak sepupunya ini?
"Apa mungkin?."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Takdir
Teen FictionAriani Melodia, gadis cantik nan sederhana yang baru saja dihianati sang kekasih dihadapkan dengan pilihan sulit, kala wanita paruh baya yang ia tolong dalam kecelakaan memintanya untuk menikahi putra semata wayangnya sebelum ia meninggal. Lantas ap...