9.

225 55 181
                                    

Ayah adalah makhluk bumi yang tidak bisa mengekspresikan rasa sayangnya pada anak.

.

.

.

Sekarang Adel sudah berada di ruang tamu. Sepi, tidak ada siapa pun di sana. Adel menengok kanan dan kiri. Tatapannya jatuh pada pintu keluar yang menghadirkan sosok wanita berdiri membelakanginya, terdengar seperti sedang menerima telepon.

Beberapa menit setelah itu wanita tersebut berbalik, menghampiri Wirya yang dari tadi duduk sambil mengawasi Adel. Entah, Adel sendiri merasa bingung. Sejak kapan di ruang tamu ini ada meja, lengkap dengan kursi kerja milik Wirya yang sebelumnya benda itu terdapat di kamar Wirya.

Adel diam. Mengamati wanita itu yang pergi meninggalkan rumah dengan tergesa. Wirya yang perawakannya tegas langsung berdiri, menatap Adel sebentar, lalu mengambil ponsel dan menelepon seseorang di seberang sana yang tidak dapat Adel dengar secara jelas inti pembicaraan tersebut.

Pikiran Adel melayang tak karuan. Apakah ia tidak jadi les hari ini? Dengan segera ia mengambil ponselnya yang berada di tumpukan buku paling atas.

Belum sempat Adel membuka layar, tiba-tiba saja Wirya berbalik menatapnya. Pria itu sedang memasukan ponselnya di saku dan menatap Adel.

"Kata guru private-mu ada jadwal yang kress, kecuali Ayah mau bayar lebih. Makanya Ayah ambil solusi, yaitu ganti jadwal."

Wirya berjalan pelan ke arah Adel. "Ya, udah. Sana, siap-siap."

Adel diam. Tanpa sepatah kata pun perempuan itu membereskan buku-bukunya yang berada di meja, lalu kembali menuju kamarnya. Dengan segera ia mengemasi buku yang ada di dalam ransel dan menggantinya dengan buku bahasa Inggris.

Bimbingan belajar super ketat sudah dimulai. Setiap hari Sabtu dan Minggu malam adalah waktunya Adel untuk les bahasa Inggris. Selain hari itu ia sudah didaftarkan les private semua mata pelajaran sekolah yang mana guru pengajarnya langsung datang ke rumah, berbeda dengan bimbingan bahasa Inggris yang dilakukan di rumah pengajarnya.

Kali ini Adel mengiyakan keinginan Wirya. Entah, mengapa Adel sudah merasa muak dengan ini semua. Pikiran buruk tentang ayahnya semakin hari malah menjadi. Lantaran mengingat begitu kejinya Wirya mengusir Rose dari rumah. Memisahkan anaknya dengan ibu kandung adalah sebuah perbuatan terjahat yang pernah Adel ketahui. Bayangan itu masih tercetak jelas. Bagaimana Wirya menendang tubuh Rose dengan amarahnya yang memuncak. Di hari itu Adel benar-benar tidak melihat jiwa Wirya yang ia kenal, meskipun Adel sebelumnya tidak terlalu dekat dengan Wirya. Setidaknya ia tahu bahwa Wirya, ayahnya dulu tidak pernah semarah sampai semengerikan itu. 

"Khusus hari pertama kamu les, Ayah anter," ucap Wirya yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Adel tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya.

"Oh, iya. Kamu sudah makan belum? Nasi sama lauknya habis. Tadi pagi Bik Yem sepertinya cuman masak dikit. Kamu mau masak sendiri, atau beli aja di luar?"

Bik Yem adalah nama pembantu rumah tangga di sana. Adel hanya diam. Ia malas menjawab. Berpura-pura menata buku, atau sekadar mengecek barang apa saja yang akan dibutuhkan saat les nanti.

Melihat ekspresi Adel yang bisa ditebak, Wirya melanjutkan perkataannya. "Del, Del. Makanya belajar. Kalau kamu bisa masak, kan, enak. Jadi Ayah nggak usah repot-repot nyewa pembantu rumah tangga. Uangnya bisa ditabung."

Sejak kepergian Rose, Wirya memang sangat selektif dalam memperhatikan pengeluaran keuangan. Bahkan pengurus rumah tangga yang bekerja di rumah mereka hanya datang di jam tertentu. Alasannya pasti berhubungan dengan materi, agar tidak mengeluarkan banyak biaya. Hemat, lebih baik digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.

Mocca (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang