32

48 3 0
                                    


Wirya sebenarnya telah menyadari bahwa anaknya melanggar aturan yang telah dibuat saat Haryo melaporkan bahwa anaknya itu menghilang dari tempat les. Namun, anehnya motor Adel masih berada di sana. Betapa marahnya Wirya pada saat itu, dan menghina Haryo selaku guru les bahasa Inggris yang tidak becus mengajari anak orang lain. Iya, sifat temperamen Wirya semenjak kepergian Rose semakin menjadi. Apalagi di tempat kerja yang mengalami beberapa masalah, sehingga membuat Wirya harus pulang malam, bukan karena lembur kerja, melainkan pergi ke sebuah klab malam untuk menghilangkan stress sejenak dengan menghabiskan beberapa botol Vodka.

Sepulang dari rumah Haryo, sebenarnya Wirya melihat Arkhan yang baru saja menurunkan Adel lalu perempuan itu dengan ekspresi yang panik segera memasuki rumah. Dengan telaten Wirya mencoba mengikuti alur permainan anaknya. Namun, semakin lama Adel malah menjadi, hingga suatu peristiwa yang membuat Wirya tercengang saat Atta melaporkan tingkah laku anaknya saat berada di luar rumah. Sepertinya jalur kekerasan harus segera ditindakkan.

Adel diberi hukuman dengan diantar-jemput dan semuanya harus berada di bawah pengawasan Wirya. Namun, lagi-lagi Atta melaporkan bahwa siang itu, sepulang dari penutupan classmeeting Adel berboncengan dengan Arkhan. Maka meledak-ledaklah emosi Wirya. Emosi yang sejak dulu ia pendam, emosi yang hanya tersimpan dalam dada, akhirnya Wirya mampu tuntaskan di detik itu juga.

Iya, Arkhan sudah babak belur di tangan Wirya. Entah, mengapa pria berumur setengah abad itu sangat protektif kepada Adel. Mungkin kejadian yang menimpa Rose sehingga mengakibatkan hubungan rumah tangga yang sudah dijaga setengah mati oleh Wirya dan berakhir hancur seperti sekarang, maka ia lampiaskan kepada anaknya, Wirya tidak mau Adel merasakan seperti itu juga.

Beberapa kali Wirya mengusap wajahnya dengan kasar. Ia khilaf, bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan kasar kepada anaknya sendiri, terlebih sudah membuat anak orang hampir kehilangan nyawa.

Wirya memegangi pelipisnya sambil merosotkan tubuhnya dibalik pintu kamar Adel setelah menguncinya dari luar. Mencoba menulikan pendengaran suara tangis dan isak Adel yang meronta-ronta ingin dikeluarkan dari sana.

"Ma-maafkan Ayah, Nak. Belum bisa mendidikmu menjadi tauladan yang baik!" Kini tubuh Wirya sudah berada di lantai. Menangis dalam diam sambil memukuli dadanya yang terasa sesak dan membodohi perbuatannya sendiri karena telah berani berbuat se-nekad itu. Entahlah, apa yang ada dalam pikiran Wirya saat melakukan perbuatan seenaknya di negara hukum. Bisa jadi kalau keluarga Arkhan tidak terima dan menuntutnya atas dasar kekerasan pada anak usia dini, Wirya tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Mengingat keluarga Arkhan yang berada di golongan orang terpandang, dibanding dirinya yang hanya karyawan swasta apalagi dengan jabatannya sekarang dengan penghasilannya yang tak seberapa.

***

Sudah hampir seminggu Adel dikurung di kamar. Bahkan pintu kamar dibuka hanya berada di jam-jam tertentu saat Wirya membawakan makanan. Iya, kamar mandi yang sudah tersedia di kamar Adel membuat perempuan itu malah bersyukur saat Wirya memperlakukan dirinya seperti ini karena dengan begitu Adel tidak akan berlama-lama melihat wajah ayahnya. Semakin lama, sifat protektif Wirya malah menjadi.

Adel termenung saat duduk di meja belajar dan terpampang foto keluarga yang terbungkus dengan pigura cantik tersenyum ke arah kamera. Mungkin, menjadi anak semata wayang pada saat itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Adel. Semua keinginannya bisa terpenuhi. Mempunyai ibu yang sangat cantik dan menyayanginya melebihi apa pun. Semuanya seperti hidup di negeri dongeng.

Terlintas mengingat kenangan itu membuat Adel tersenyum miris. Negeri dongeng? Bahkan sekarang Adel tidak tahu ke mana keberadaan ibunya berada. Kalau boleh jujur Adel sangat merindukan sosok wanita itu yang selalu membela dirinya bila Wirya berbuat melebihi batas, dan perbuatan Wirya seminggu lalu menurutnya itu sudah melebihi ambang batas. Bahkan Adel sudah tak mengenali sosok ayahnya lagi.

Dengan mengembuskan napasnya kasar, Adel mengeluarkan foto yang ada dalam pigura tersebut dan melipat foto Wirya, sehingga hanya tampak foto Adel dan Rose di dalam foto itu dan memasukkannya kembali ke dalam pigura.

"Bunda ... Adel kangen," ucapnya lirih sambil memejamkan kelopak matanya. Tak terasa buliran bening merembes membasahi pipinya. "Bunda di mana, sih?" Dengan sangat erat Adel memeluk pigura tersebut.

Di detik selanjutnya tiba-tiba saja kelopak mata Adel terbuka dengan tatapannya yang tajam. "Iya, gue harus mencari Bunda!"

Keesokan harinya tepatnya pada pukul empat pagi Adel berusaha melepaskan trelis yang terpasang di jendela kamarnya. Keinginan Adel sudah bulat, ia ingin pergi dari rumah dan mencari keberadaan ibunya.

Tak terasa jarum jam menunjukkan pukul lima pagi, perempuan itu sudah berhasil melepaskan trelis dan sudah bersiap dengan celana pendek di atas lutut, menggunakan atasan berwarna hitam yang dirangkap dengan baju hem kotak-kotak yang sengaja tidak dikancing sepanjang paha. Tidak lupa juga perempuan itu menguncir rambutnya seperti ekor kuda dengan tas ransel yang diisi baju ganti seperlunya. Adel pun meloncat dari jendela untuk pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Wirya.

***

Sore harinya Atta pergi ke rumah Adel karena ingin mendengar kabar sahabatnya. Ia datang ditemani Ifa yang juga rindu bermain bersama. Mengingat masa liburan semester yang membosankan bila hanya berdiam diri di rumah.

Pintu rumah Adel terbuka, berdirilah sosok pria di belakangnya tersenyum menyambut kedatangan Atta dan Ifa. "Oh kalian. Mau mencari Adel, ya? Mari masuk."

Atta dan Ifa tersenyum lalu berjalan mengekor di belakang Wirya dan duduk di ruang tamu saat pria itu juga mempersilakan duduk di sana.

"Mau minuman apa? Biar Om buatkan."

Refleks Atta dan Ifa saling bertatapan. "Oh, tidak usah repot-repot, Om."

"Baiklah. Om buatkan jus mangga, mau? Tapi Om mau keluar sebentar, ya. Mau beli buahnya dulu."

"Eh," ucap Atta refleks, "sampai segitunya, Om. Nggak usah repot-repot kali."

"Nggak apa-apa sih, Om. Kebetulan saya juga haus, pengen yang seger-seger," jawab Ifa sambil cengengesan yang dibalas Atta dengan kelopak matanya yang melotot.

"Nah, itu temennya haus. Bentaran, ya. Om belikan di depan kompleks situ. Nggak lama kok."

Setelah itu yang ada hanyalah keheningan saat menatap kepergian Wirya dari sudut pandang.

Beberapa menit setelah itu Wirya datang, membawa buah mangga dan berjalan menuju dapur.

Ada perasaan Atta yang aneh dari lagak Wirya yang tampak mencurigakan. Tidak biasanya Wirya memperlakukan teman Adel sampai rela membelikan buah hanya untuk membuatkan jus mangga. Mengapa tidak membelikan jus buahnya saja, bila sama-sama membeli buahnya dari luar?

Atta bangkit dan berjalan menuju kamar Adel, disusul Ifa yang mengekor di belakangnya. "Ta, ikut!"

Aneh, kamar Adel tak dikunci,padahal sebelum Wirya pulang Atta yakin bahwa kamar Adel dikunci. Kemudian Atta memasuki kamar Adel yang tampak kosong dengan kondisi jendela yang sudah terbuka.

Ifa yang mengekor dari arah belakang sebenarnya takut karena tindakan Atta yang lancang. Namun, apa boleh buat saat Ifa juga penasaran ketika tidak menemukan keberadaan Adel yang berada di kamarnya.

Sehingga mereka berdua pun menyimpulkan situasi ini dan berlari ke arah Wirya yang sedang berada di dapur. "Om Wirya, Adel kabur!"

*** 

Gilak sih ini nulis pas aku masa pemulihan karena abis sakit. Xixix

Percayalah aku up ini badanku keringetan semua ya. Mungkin karena efek obat dan sekarang aku udah puasa, saat lusa kemarin aku tydak puasa xixixi. 

Jangan Lupa meninggalkan jejak

Mocca (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang