10.

193 48 158
                                    

"PUNK itu bukan berandalan yang suka bikin rusuh. Masyarakat banyak menyamakannya dengan anak jalanan, padahal mereka beda."

#AldianoArkhanMahendra.

#AldianoArkhanMahendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.


"

Ayahmu belum datang, Del?"

Adel hanya menggeleng pasrah, ia tak mampu bersuara jika nanti air matanya menetes. Perempuan itu bangkit lalu menyalami Haryo dan bergegas keluar ruangan menghirup udara segar karena pembelajaran les hari ini sudah selesai.

Hampir setengah jam Adel menunggu kedatangan Wirya yang tak kunjung tiba. Perempuan itu tidak mempunyai nomor telepon Wirya. Bagaimana mungkin tujuh belas tahun tinggal bersama ayahnya tidak mempunyai nomor yang bisa dihubungi?

Di lain sisi mengingat anak didiknya ada yang belum pulang. Haryo mengecek kondisi Adel yang masih berada di depan teras rumahnya.

Ia berjalan mendekat hingga berada di ambang pintu. Melihat kondisi Adel sudah dijemput atau belum. Setelah memastikan Adel baik-baik saja. Haryo berniat ingin masuk kembali ke dalam rumah.

"Pak Haryo punya nomor teleponnya ayah?"

Pria yang sudah berumur sekitar tujuh puluhan tahun itu menoleh, membatalkan niatnya untuk masuk lagi ke dalam ruangan. Karena tempat les ini bergabung langsung dengan rumahnya. Alasan utama Haryo tidak mau dipanggil les private di rumah Adel adalah karena umurnya yang sudah tak lagi muda.

"Ada, tapi di handphone satunya, Del." Meskipun Haryo sudah terbilang tua. Namun, daya ingatnya sangat tinggi.

Haryo adalah tipe orang yang mudah sekali mengenali bentuk wajah dan nama seseorang.

"Boleh minta nomornya, Pak?"

"Di handphone cucu maksudnya. Mungkin sebentar lagi dia pulang."

Haryo berjalan mendekat ke arah Adel, menduduki kursi kosong di hadapannya. Sekarang mereka sudah duduk bersebelahan.

"Kalau begitu sekalian saya temenin buat nungguin ayah kamu. Saya ceritakan bagaimana saya bisa berada di sini. Daripada kamu nunggu sendirian, kan?"

"Wah, boleh banget, Pak. Terima kasih." Adel sangat antusias menjawabnya. Karena menunggu adalah kegiatan yang sangat membosankan.

"Dulu saya tinggal di Jakarta pusat dan bertemu istri saya di sana. Bekerja menjadi direktur perusahaan yang sangat sukses pada waktu itu. Semuanya cukup berada, saya dipandang tinggi karena posisi jabatan yang dimiliki."

Adel diam, memperhatikan Haryo yang sedang mengingat kejadian pada masa itu.

"Entah, jarak beberapa tahun setelah cucu kedua saya lahir. Bencana itu mulai datang. Istri saya meninggal dunia, ia berpesan untuk menjaga rumah peninggalan ibunya. Terpaksa, mau enggak mau. Saya harus pindah ke Jakarta utara karena itu rumah asli istri saya. Bahkan saya tidak menyangka kalau kehidupan saya di sini jauh berbanding terbalik sewaktu berada di rumah yang lama."

Mocca (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang