4.

333 87 274
                                    

"Jaket hitam bergambar tengkorak?"

#AdeliaFaranisaAgnii.

.

.

.

"Gila, pendaftar OSIS tahun ini membludak," gerutu Adel sambil mengacak rambutnya frustrasi.

Kalau bukan paksaan dari Atta agar menyuruh Adel mengikuti organisasi, ia tidak akan mau repot-repot menghabiskan waktunya untuk mendaftar OSIS di periode baru.

"Tau gini mending gue tadi bareng Atta aja."

Tadi karena perasaan tidak enak untuk menolak permintaan Lia-teman sekelasnya-yang disuruh Sarah untuk mengoreksi ulangan harian kelas sepuluh. Sebenarnya Adel ingin menolak permintaan tersebut, tetapi bibirnya malah mengiyakan. Suatu sifat yang paling ia benci, mudah memikirkan perasaan orang lain hingga mengorbankan kepentingan pribadi. Tidak ingin Atta menunggu lama, akhirnya Adel mempersilakan dia agar berangkat terlebih dahulu untuk tes OSIS.

Adel berbalik, tatapannya jatuh ke dasar lantai. Keringat dingin mulai bercucuran. Sesekali Adel mencengkeram telapak tangan agar meminimalisir rasa gemetar yang menyelimuti tubuhnya. Ia tidak terbiasa bersinggungan dengan orang banyak.

Adel berjalan sendirian di koridor sekolah yang tampak sepi karena jam pulang sekolah sudah berakhir tiga puluh menit yang lalu. Dari kejauhan terlihat Ifa melambaikan tangannya ke arah Adel. "Del, Adel. Tunggu!"

Sontak sang pemilik nama tersebut menoleh dan harus membuat Adel menunggu lama, hingga Ifa menghampirinya. Sudah menjadi kebiasaan Ifa yang berjiwa tenang dan tidak mudah tergesa-gesa.

"Map lo ketinggalan, tuh, di kelas!"

Kening Adel mengernyit. "Map?" ulangnya bingung.

"Et dah. Iya, map. Sebenarnya gue males nyariin elo cuman buat ngasih ginian. Ya, karena temen. Apalagi sekarang terakhir pendaftarannya, kan?"

Mendengar hal tersebut membuat Adel mengingat sesuatu. Dengan segera ia mencari map miliknya yang mungkin berada di dalam tas. Iya, barang itu tidak ada. Map yang berisi kertas visi dan misi Adel untuk wawancara tes Osis.

Melihat Adel mengobrak-abrik isi tasnya, membuat Ifa kebingungan dan bertanya, "Lo nyari apaan sih, Del?"

"Map, Fa. Soalnya gue yakin baget kalau mapnya udah gue taruh di tas."

"Lihat dulu dong, Del. Udah jelas-jelas map ini ada nama lo. Map kertas warna merah dan lo sendiri tadi yang nulis nama ini waktu di kelas."

"Eh. Iya, kah?"Adel cengengesan. "Sorry, soalnya tadi gue buru-buru."

Dengan perlahan Adel mengambil map itu, lalu membukanya hati-hati. Betapa terkejutnya Adel saat membuka map tersebut yang isinya bukan bertuliskan kertas visi dan misi miliknya, melainkan kertas hasil ujian sejarah lengkap dengan nilai sempurna.

"Kok diem, Del?"

Karena tidak ada respons dari lawan bicaranya, tanpa meminta izin Ifa meihat kertas tersebut dan berhasil membuatnya bingung.

"Kelas sepuluh?" Ifa tertawa. "Ih, ulangannya siapa ini, Del, yang lo bawa?"

"Mana gue tau, Fa. Kok bisa di map gue, ya?"

"Coba lihat namanya," saran Ifa yang masih setia berdiri di samping Adel.

"Namanya Aldiano Arkhan Mahendra."

"Eh, kok bisa di elo?" imbuh Ifa lagi.

Perempuan itu berusaha mengingat sebuah peristiwa sebelum Adel berangkat tes. Iya, benar. Tidak salah lagi kalau kertas itu tertukar saat Adel mengoreksi hasil ujian kelas sepuluh ketika membantu Lia menyelesaikan tugas dari Sarah.

***

Adel berlarian di sepanjang koridor sekolah meninggalkan Ifa sendirian di sana. Matanya terus mengawasi lingkungan sekitar dengan sorot mata tajam. Tidak, ia tidak menemukan cowok itu di sana.

Tanpa basa-basi Adel langsung berlari menuju gedung belakang sekolah, tempat kelas IPS berada. Dengan teliti Adel mencari plakat kayu yang bertuliskan X-IPS 1.

Dapat, batinnya. Dengan segera Adel menggerakkan handle pintu hingga terlihatlah ruang kelas tersebut. Adel tampak terkejut melihat ruangan anak IPS yang begitu rapi dengan desain kelas yang didominasi warna hitam bergambar pulau-pulau kecil berwarna hijau, seperti sebuah peta yang berukuran besar menempel pada tembok.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Semua tampak sepi, hanya menyisakan sebuah tas ransel di atas meja di bangku paling belakang. Meskipun ragu Adel mencoba mendekat.

Terlihat sebuah sepatu Converse yang menggantung bebas di kursi lantaran kakinya terlalu panjang, hingga melebihi batas dua kursi yang ditata sedemikian rupa. Adel yakin siapa pun itu, pasti seseorang tersebut sedang tidur di kelas.

Ternyata dugaannya benar. Sosok laki-laki tersebut sedang menutupi wajahnya dengan jaket tebal berwarna hitam. Betapa terkejutnya Adel saat melihat logo bergambar tengkorak itu persis dengan jaket yang pernah ia temui beberapa hari lalu saat insiden Adel terjebak dalam kerumunan orang tawuran.

Karena rasa penasarannya yang tinggi. Adel menggigit bibir bawahnya sendiri sambil menarik paksa jaket itu dari pemiliknya dan berhasil membuat sang empunya terbangun dari alam mimpi.

"ELO!" teriak Adel keras, membuat laki-laki bernama Arkhan itu gelagapan hingga terjatuh dari kursi, sedangkan Adel langsung membekap mulut menggunakan tangannya sendiri.

"Sorry, sorry, sorry. Gue udah lancang masuk kelas lo." Adel menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal dengan tampak kebingungan sambil melangkah menuju pintu.

"Tunggu!" cegah Arkhan sambil membenarkan posisinya untuk berdiri. "Kemarin kita belum kenalan."

Secara refleks Adel berhenti dari langkah. Ia mematung di tempat tanpa berniat untuk menoleh. "Bukannya udah ya. Nama lo Arkhan, kan?"

"Curang. Waktu itu lo belum nyebutin nama, Kak." Arkhan langsung mengenakan tas ranselnya dan berjalan menghampiri Adel. "Emangnya ada keperluan apa ke kelas gue?" tanya Arkhan sambil tersenyum.

Benih-benih mulai berhamburan ke dalam perut. Ingin rasanya Adel berteriak saat ditatap dengan senyuman yang mampu menyihir siapa pun yang melihatnya. Apalagi hanya berdua di dalam ruangan yang sepi seperti ini.

Dengan segera Adel menyerahkan secarik kertas yang sedaritadi ia genggam ke hadapan Arkhan.

"Apa ini?" Arkhan mengambil secari kertas tersebut dari genggaman Adel.

"Lihat, aja!"

"Oh kertas ulangan gue. Kok bisa di elo?"

"Tadi ketuker. Udah sih nggak penting juga. Sekarang mana kertas gue?"

"Hah? Apaan? Kertas apa?"

Adel diam. Ia mencoba berpikir tenang kali ini. Bukankah seharusnya Adel mencari kertas itu dengan orang yang bersangkutan. Tanya ke Bu Sarah misalnya. Bukan ke Arkhan yang tidak tahu-menahu terkait hal ini. Bodoh, karena sangking terburunya tadi, Adel tidak bisa berpikir hal sesederhana itu.

"Nggak ada, ya? Ya udah, gue pulang." Kata-kata itu langsung keluar dari mulut Adel agar bisa menutupi rasa malu terhadap dirinya sendiri.

"Nggak semudah itu, Ferguso. Karena tadi udah lancang masuk kelas orang dan nuduh gue sembarangan. Sebagai hukumannya, sekarang lo harus ikut gue, Kak. Ayo!"

"Eh, eh. Dasar, Bocah! Lo mau bawa gue ke mana? Lepasin, Ar. Gue bilang lepas!" teriak Adel sambil beberapa kali memukuli lengan Arkhan.

Bukannya kesakitan. Laki-laki itu malah semakin mempererat pegangannya dan membuat Adel mau tidak mau harus memilih pasrah saat pergelangan tangannya diseret menuju parkiran.

***

Jangan lupa meninggalkan jejak 🌟🌟🌟

7920
AlfinNifla

Mocca (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang