Delapan

3.7K 241 10
                                    

Tidak terasa kandungan Rena sudah menginjak 3 bulan. Tapi entah mengapa rasa mual dan pusing masih saja menyerangnya. Bahkan sekali-kali ia merasakan sakit di perutnya. Zami, suaminya sering pulang malam karna jabatannya naik menjadi pengajar sekaligus wali kelas dan akhir-akhir ini Zami sering sekali mengurusi berbagai kasus di pesantrennya yang membuat dirinya sering pulang malam bahkan jarang sekali memperhatikan kandungan istrinya. Jujur, Rena sempat sakit hati karna suaminya itu, tapi ia sadar, ia tidak boleh egois. Bagaimana pun juga suaminya begitu karna sibuk dengan urusan kerja untuk kebutuhan hidup dirinya juga.

Dan sekarang Rena duduk bersandar di sofa ruang TV menunggu suaminya pulang. Rena tidak betah jika hanya duduk saja, ia berjalan mondar-mandir memegang ponselnya yang belum ada pesan sama sekali dari suaminya. Rena mencoba menelpon tapi belum di angkat. Tiba-tiba kerongkongannya terasa kering, ia butuh minum. Ia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Namun ketika ia selesai mengambil gelas di rak dan ...

Gubrak.....

Rena terpeleset begitu pun dengan gelasnya yang terjatuh dan pecah. Perut Rena sangat sakit ia mengambil ponselnya yang masih ada di atas rak untuk menelpon suaminya. Rena menjerit kesakitan tidak tahan dengan sakit perutnya.

Rena menghela nafas ketika sambungan telpon masih belum di angkat, mungkin suaminya masih sibuk. Rena mencoba untuk berdiri namun ia melihat darah begitu banyak mengalir di kakinya. Ia kira itu darah karna terkena pecahan gelas, tapi bukan, itu darah dari kandungannya. Rena panik bukan main.

"TOLONGG!!!"

Rena berteriak sekencang mungkin berharap tetangganya atau siapapun itu mendengarnya. Pintu rumah terbuka, ia mendengar derap langkah seseorang yang sedikit berlari. Rena melihat Ernyata ayahnya lah yang datang. Rena menghela nafas lega akhirnya ada seseorang yang menolongnya.

Dengan panik, ayah Rena membopong Rena hingga mobilnya. Ia tidak memikirkan putrinya yang tidak mengenakan hijab, yang penting putrinya bisa selamat.

••••••

Dokter menghampiri keduanya yang terlihat cemas. Apalagi dengan ayahnya, ayahnya begitu cemas melihat anaknya seperti itu. Dan untung saja, ketika ia hendak mengunjungi anaknya, jika tidak ada dia di sana, bagaimana nasib anaknya? Ayah Rena tidak bisa membayangkan itu.

"Dengan segala maaf, kami beri tahu kepada bapak dan putri bapak, bahwa putri bapak keguguran."

Rena menangis dengan histeris, begitupun dengan ayahnya. Dalam kondisi seperti ini Rena merasa kecewa dengan suaminya yang tidak mengangkat telponnya ketika ia sedang mengalami pendarahan. Ia benci sangat benci.

"Jika saja ketika pendarahan ibu segera ke rumah sakit, bayi ibu akan selamat. Tapi Allah berkehendak lain, saya pun tidak tidak bisa memastikan itu, jika Allah berkehendak lain? Kita bisa apa? Saya harap ibu bisa ikhlas."

Setelah dokter berpamit untuk memeriksa pasien lain, Rena meminta untuk pulang kepada ayahnya. Padahal ia masih di perbolehkan untuk menginap beberapa waktu di sini sampai kondisinya membaik. Tapi Rena tidak ingin berlama-lama di sini. Ayahnya pun pasrah, ia menuruti kemauan putrinya.

•••••••
Zami melihat ponselnya ada banyak panggilan tak terjawab dari istrinya. Ia mengusap wajahnya kasar karna akhir-akhir ini ia jarang memperhatikannya. Ketika Zami hendak menelpon ulang panggilannya, namun seorang santri laki-laki menghampirinya.

"Assalamu'alaikum ustadz."

"Waalaikumsalam."

Laki-laki itu dudun di hadapan Zami setelah bersalaman. "Ustadz ana mau nanya?"

Assalamu'alaikum Suamiku [SEQUEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang