D-Day

6 0 0
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ray bangun sedikit lebih awal dari biasanya. Sekolah Ray menetapkan aturan bagi para murid di tingkat SMP untuk masuk sekolah pada siang hari, sehingga ia dapat tidur lebih lama dibanding murid-murid yang masuk di pagi hari. Setelah bangun, seperti biasa, ia pun sarapan sambil membaca komik digital melalui ponselnya. Bedanya, selesai sarapan ia tidak kembali memainkan ponselnya, namun ia langsung ke kamar mandi, menyelesaikan segala urusannya, kemudian mulai menyalakan alat pelurus rambut miliknya. "Aku harus tampil lebih cantik hari ini," batinnya.

Setelah selesai dengan urusan rambutnya, ia pun memoleskan sedikit pewarna bibir berwarna pink, menyemprotkan parfum favoritnya yang ia beli di supermarket sebulan yang lalu, dan menunggu supirnya datang untuk mengantar adiknya pulang dan menjemputnya ke sekolah. Ia merasa semuanya sempurna, meskipun ia harus menahan gerah karena rambut panjangnya yang terurai dan cuaca panas yang sebenarnya sangat tidak mendukung ini. Namun ia rela menahan ketidaknyamanan itu asalkan semua yang ia rencanakan dapat berjalan sesuai harapan.

Satu jam menunggu, efek alat pelurus rambut Ray mulai berkurang, akar rambutnya mulai sedikit bergelombang, menunjukkan rambut aslinya yang keriting yang mana tidak ia sukai, sedangkan bagian bawah rambut yang telah ia tata sedemikian rupa juga mulai kehilangan bentuknya. Ia memang selesai lebih awal hari ini, namun ia juga kesal karena berharap supirnya dapat kembali lebih cepat dan segera mengantarnya ke sekolah. Ia pun segera kembali ke kamarnya dan hendak memperbaiki tatanan rambutnya, namun baru saja ia akan menyalakan alat pelurus rambutnya, bibinya berteriak, "Ray, Mas Yono nya udah datang, nih!"

Ia sampai di sekolah dengan wajah yang agak masam, ia masih merasa kesal dengan supirnya, Mas Yono, yang ia rasa datang terlalu cepat. Seandainya saja Mas Yono datang sedikit lebih lama, mungkin ia masih sempat memperbaiki tatanan rambutnya. "Rencanaku jadi ga bener-bener sempurna, kan!" pikirnya.

Sambil berjalan menuju kelasnya, ia berusaha menjernihkan pikirannya dan menghilangkan kekesalannya. Di tengah itu, ia bertemu sahabat-sahabatnya, Rachel dan Hanna,

"Ray!"

"Eh, kalian!"

"Jadi, hari ini d-day nya, ya?"

"Iya, gue gugup banget, nih! Gimana kalo ntar gue dianggap aneh sama Ben? Atau kadonya ngga perlu gue kasih ke dia aja, kali? Jadi kita makan bareng-bareng aja cokelatnya?"

"Ya ampun, lo itu udah sejauh ini, Ray. Ingat ya, gak ada kata 'nyerah' dalam kamus kita! Bener gak, Han?"

"Bener banget, Ray. Apa sih yang lo takutin? Kan, gak ada yang tahu sebelum nyoba, kalo dipikir-pikir, ini juga pertama kalinya lo berinteraksi langsung sama doi loh, Ray. Kapan lagi lo punya kesempatan begini?"

"T-Tapi gue,"

"Gak ada tapi-tapian, ya, Ray. Sekali udah maju, gak ada kata mundur lagi! Lo harus selesaiin apapun yang lo mulai! Gimana pun jadinya nanti, mau semuanya berjalan sesuai keinginan lo atapun engga, eh, amit-amit! Ingat, lo masih punya gue dan Rachel. Jangan takut, oke?"

"Mmm, oke."

Rachel dan Hanna tidak tahu bahwa hati kecil Ray sudah berulang kali memintanya untuk membatalkan rencana ini. Sebenarnya ia sangat pesimis dengan apa yang akan terjadi. Ia tahu kecil kemungkinan semuanya akan berjalan sesuai yang diharapkan. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia tahu bagaimana Ben memandangnya. Mungkin bukan hanya Ben, mungkin semua laki-laki di dunia ini juga berpikiran sama.

Ray Utomo selalu menganggap dirinya jauh dari kata menarik. Anggapannya selalu berdasar pada fisiknya, karena tubuhnya yang cukup gempal dan wajahnya yang juga pas-pasan. Tak jarang anak laki-laki mengejeknya karena hal tersebut. Ejekan-ejekan tersebut seolah memperkuat anggapannya dan membuat ia yakin bahwa semua orang pasti berpikiran yang sama.

APRILWhere stories live. Discover now