Assumption (pt. 2)

2 1 0
                                    

Rachel melihat ke arah jam dinding yang ada di kelas mereka. Jam menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit, yang artinya pelajaran akan segera dimulai lima belas menit lagi. Kemudian, ia pun sekilas melihat Leah yang sedang berkutat dengan kertas-kertas soalnya yang berserakkan di meja. Ia melihat ekspresi Leah tampak serius, namun Rachel tahu Leah pasti kesulitan mengerjakan soal-soal tersebut karena dari tadi Leah hanya mencoret-coret kertas buram miliknya.

Tiba-tiba, Rachel tersadar bahwa kertas-kertas yang berserakkan di meja Leah adalah kertas-kertas soal matematika yang merupakan PR dari Pak Orion minggu lalu. Rachel baru ingat ia belum sempat mengerjakan PR tersebut sama sekali, karena biasanya Ray yang selalu mengingatkannya dan Hanna jika ada PR yang harus dikerjakan. Seringkali ia dan Hanna mencatat jawaban Ray terutama jika dalam keadaan seperti ini, saat mereka lupa mengerjakan PR mereka. Rachel pun menanyai Hanna.

"Han, lo inget gak ada PR dari Pak Orion minggu lalu?"

"Emang ada?" Setelah berkata demikian, Hanna terdiam sejenak. Lalu matanya pun terbelalak sambil berkata, "Oh, sh*t! Gue lupa, Rach. OMG! Gimana, nih? Lo udah siap belum? Pinjem dong, please!"

"Gue juga belum, nih! Belum SAMA SEKALI. Gue gak tau deh gimana nasib kita nanti. Semoga aja ada yang lupa ngerjain juga biar sama-sama dihukum, hahaha.."

"Gila lo, Rach, hahaha.."

Sementara itu, mereka mendengar Ray yang menawarkan buku PR-nya kepada Leah. Sontak, Rachel dan Hanna pun saling bertatapan. Rachel kemudian mengalihkan pandangannya dan menggigit bibirnya, begitu pula dengan Hanna yang menghembuskan nafasnya. Ingin sekali rasanya mereka berbaikan dengan Ray dan berbicara seperti sediakala. Namun, tampaknya mereka masih perlu waktu untuk memahami semuanya.

Setelah Leah selesai mencatat jawaban dari buku PR Ray, ia pun segera mengembalikannya.

"Thanks, ya, Ray, udah mau pinjemin gue buku PR lo, gue gak enak jadinya, hehehe.." kata Leah.

"Sama-sama. Kok lo bisa kelupaan sama PR-nya Pak Orion, sih? Padahal dia, kan, killer banget, hahaha.."

"Hehehe.. ya gitu, deh. Pokoknya lain kali gue pasti inget buat ngerjain PR lagi, kok. Tapi kalo ada soal-soal yang gue kurang ngerti, ajarin gue, ya? Hahahaha.."

"Duh, iya, iya," kata Ray sambil tertawa.

Tiba-tiba, Ray merasa tubuhnya dicolek dari belakang. Ia pun langsung menoleh.

"Ray, jam istirahat nanti bareng kita, ya?" kata Rachel.

Ray tidak langsung menjawab. Ia menatap Rachel dan Hanna secara bergantian, lalu menjawab, "Kenapa emang?"

"Temenin kita ke kantin," jawab Hanna.

"Bukannya bisa bareng Jess atau Grace?" balas Ray dingin.

"Kita maunya bareng lo, ada yang harus kita omongin," jawab Rachel.

"Udah, pokoknya ikut aja, ya, Ray," kata Hanna menimpali.

Ray tampak berpikir sejenak lalu menganggukkan kepalanya.

Bel telah berbunyi, yang berarti pelajaran akan segera dimulai. Rachel dan Hanna yang telah pasrah dengan nasib mereka tampak tidak terlalu bersemangat menunggu kedatangan Pak Orion ke kelas mereka. Pintu kelas akhirnya terbuka, namun, bukannya Pak Orion, malahan Bu Uci, wali kelas mereka, yang masuk ke kelas. Saat-saat seperti ini, anak-anak akan bersorak gembira dan bertepuk tangan karena sudah dipastikan bahwa Pak Orion tidak hadir melihat jam pelajaran beliau diisi oleh guru lain.

Rachel dan Hanna terlihat yang paling bahagia mengetahui ketidakhadiran Pak Orion, terutama Hanna yang bertepuk tangan paling keras dari tadi. Merasa keadaan kelas sudah terlalu ribut, Bu Uci pun memukul papan tulis dengan rol panjang yang selalu ia bawa.

"DIAM!" teriak bu Uci.

Keadaan kelas yang tadinya ribut seketika menjadi hening. Setelah memastikan bahwa tidak ada lagi murid yang berbicara, Bu Uci berdeham sambil berkata, "Seperti yang sudah kalian ketahui, hari ini Pak Orion tidak dapat hadir untuk mengajar, jadi Ibu yang akan menggantikan beliau. Ibu akan memberi kalian kebebasan selama dua jam pelajaran ini, tapi jika ada satu saja orang yang mengeluarkan suara, Ibu akan menyuruh guru BK saja yang menggantikan Ibu disini. Paham?"

"Paham, Bu," jawab murid-murid serempak.

"Bagus. Jadi, keluarkan buku kalian. Jika ada PR yang belum kalian selesaikan, maka selesaikanlah sekarang. Pergunakan waktu kalian sebaik mungkin, karena ujian nasional sudah di depan mata. Tidak terasa kalian sudah akan naik ke kelas sembilan, dan tidak terasa juga kalian sudah akan melepas seragam putih biru kalian. Jangan sampai penyesalan datang di kemudian hari. Bacalah buku sebanyak mungkin dan sering-seringlah berlatih soal," kata Bu Uci.

Murid-murid terdiam. Mereka merenungi apa yang baru dikatakan Bu Uci. Terutama saat Bu Uci mengatakan bahwa mereka sudah akan melepaskan seragam putih biru mereka. Beberapa murid terlihat menundukkan kepalanya, termasuk Ray, Leah, Rachel dan Hanna.

"Ibu tahu pasti kalian sudah merasa sangat akrab dengan satu sama lain. Tapi, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan sebaliknya, setiap ada perpisahan, pasti akan ada lagi pertemuan. Jadi, jangan berpikir bahwa perpisahan adalah akhir dari segalanya, justru itu adalah permulaan untuk sesuatu yang baru. Semangat dan belajarlah sebaik mungkin, mengerti anak-anak?"

"Mengerti, Bu," jawab murid-murid serempak.

Ray masih merenungi perkataan Bu Uci. Seperti yang dikatakan beliau tadi, bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Ia memberanikan diri menatap ke arah Ben yang sedang berbicara dengan Yohan yang duduk di belakangnya. Ray melihat mata Ben yang sesekali seperti sedang mencuri pandang ke arahnya. Sontak, Ray pun terkejut dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia lalu meminta izin kepada Bu Uci untuk ke toilet.

"Astaga! Gue tadi nggak salah lihat, kan?! Ben ngelirik ke arah gue? Beneran?! SERIOUSLY?!! Apa ini yang dimaksud Rachel dan Hanna kalo gue.. masih punya kesempatan?!" batin Ray.

APRILWhere stories live. Discover now